Bisnis.com, JAKARTA - Harga aluminium setelah naik 15 persen selama tiga minggu terakhir, dipicu penurunan output China, di tengah dorongan untuk mengurangi emisi dan menghemat listrik.
Sementara itu, kudeta di produsen bauksit Guinea telah menimbulkan kekhawatiran atas pasokan bahan yang digunakan dalam produksi aluminium.
Pabrik peleburan di Uni Eropa juga menghadapi kenaikan biaya dengan kredit karbon dan input listrik pada rekor tertinggi, kata Goldman Sachs Group Inc.
"Di China dan semakin di Uni Eropa, risiko kebijakan untuk pasokan aluminium tumbuh," kata analis Goldman termasuk Jeff Currie dalam sebuah catatan yang dirilis Senin (13/9/2021).
Sementara itu, Goldman tidak melihat kudeta baru-baru ini sebagai dampak material terhadap bauksit, risiko kenaikan tetap ada karena ketegangan regional dapat menghasilkan kemacetan logistik lebih lanjut.
Pasokan yang turun akan mengganggu industri sepanjang sisa tahun ini dan sebagian besar tahun 2022, menurut banyak peserta di Harbour Aluminium Summit di Chicago.
Baca Juga
Beberapa pemain memproyeksikan perlu waktu selama lima tahun untuk menyelesaikan masalah. Logam padat energi ini telah meningkat sekitar dua pertiga selama setahun terakhir.
Aluminium naik sebanyak 2,6 persen menjadi US$3.000 per ton - level intraday tertinggi sejak 2008 - di London Metal Exchange. Logam tersebut kemudian diperdagangkan pada US$2.992,50 pada pagi hari waktu London. Di China, logam naik sebanyak 5,4 persen menjadi 23.790 yuan, tertinggi sejak 2006. Sementara itu, seng turun 0,9 persen di London.
Saham Aluminium Corp. of China Ltd., pabrik peleburan terbesar di negara itu, melonjak sebanyak 12 persen di Hong Kong pada hari Senin (13/9/2021).
Emiten logam China mungkin melihat kenaikan lebih lanjut karena lebih banyak langkah pemerintah untuk mengekang produksi baja untuk mengurangi emisi karbon.
Dengan demikian, kondisi ini meningkatkan harga semen, baja dan aluminium, menurut analis Citigroup Inc Jack Shang dalam sebuah catatan.