Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah manajer investasi (MI) melihat teknologi akan menjadi tantangan pasar modal ke depan baik itu pemanfaatannya maupun kedatangan berbagai emiten sektor teknologi baru.
Direktur Avrist Asset Management Tubagus Farash Akbar Farich mengungkapkan saat ini investor mulai mencari aplikasi yang dapat membeli saham di pasar modal Amerika Serikat (AS). Padahal seharusnya teknologi dapat membantu menarik investor ritel asing ke Indonesia.
"Saat ini malah teknologi atau aplikasi luar dicari banyak investor indonesia supaya mereka bisa beli saham di Amerika Serikat. Harusnya teknologi Indonesia berkembang dan bantu menarik investor asing ritel investasi di Indonesia," jelasnya kepada Bisnis, Senin (9/8/2021).
Dia melihat saat ini ada fenomena terbalik dengan semakin dominannya investor domestik di pasar modal Indonesia. Hal ini membuat fluktuasi harga-harga di pasar modal juga lebih stabil dan tidak rentan pada faktor eksternal.
Di sisi lain, jumlah emiten sebagai suplai pengisi pasar modal perlu sekali ditambah, karena jika membandingkan dengan pasar modal Malaysia, emitennya sudah lebih dari 900 perusahaan.
Selain itu, perlu pula dikembangkan emiten dengan berbagai skala, yakni bigcaps, mid caps, dan small caps.
Baca Juga
"Dengan demikian, di pasar modal yang sudah advance seperti di Amerika memungkinkan untuk menjalankan strategi investasi small caps karena pilihan emiten banyak dan likuid," paparnya.
Farash juga menilai perlunya pihak yang bertindak sebagai perusahaan liquidity provider selain perusahaan sekuritas untuk membantu pasar yang sedang kurang likuid seperti di obligasi korporasi, DIRE, RDPT, derivatif, EBA, dan dinfra.
"Produk-produk dengan strategy distressed fund yang juga diterapkan di luar negeri mungkin juga bisa dipertimbangkan," katanya.
Sementara itu, Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management menilai Indonesia perlu memikirkan lebih lanjut pengembangan pasar perdagangan obligasi, sehingga ada keterbukaan data dan transaksi layaknya seperti saham yang dapat diakses.
Adapun, dia menilai saat ini sektor teknologi atau terkait teknologi yang sedang hype saat ini menyebabkan kinerja saham bluechip dengan menggunakan indikator seperti LQ45 dan IDX30 berada di bawah IHSG.
"Selisih yang cukup jauh untuk periode year to date hingga awal Agustus 2021 ini sehingga diversifikasi sektor memang menjadi suatu pilihan, namun valuasi yang saham sektor teknologi yang tinggi juga harus menjadi perhatian," jelasnya kepada Bisnis.
Dia juga berharap tax benefit atas investasi reksa dana di instrumen surat hutang agar dapat terus dipertahankan.
Selain itu, perlunya dukungan dari self regulatory organization (SRO) yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) terhadap industri pengelolaan investasi yang lebih besar.
"Seperti kegiatan literasi bersama dan adanya hak suara atau rekomendasi dari asosiasi pengelolaan investasi dalam pemilihan direktur bursa," urainya.