Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Iwan Soemekto

Kepala Divisi Badan Penyehatan Perbankan Nasional 1999-2003

Iwan Soemekto adalah Kepala Divisi Badan Penyehatan Perbankan Nasional 1999-2003. Selepas dari BPPN, dia pernah menjabat Managing Director PT Dirgantara Indonesia (2003-2007).rn

Lihat artikel saya lainnya

IPO Unikorn Teknologi & Risiko Investor Ritel

Valuasi dibuat berdasarkan visi future technology, terutama di dunia internet yang dijagokan akan digunakan oleh banyak orang.
Karyawan berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (24/6/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (24/6/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Majalah The Economist dalam edisi terbitan 19 Juli 2021 menulis bahwa trend valuation perusahaan technology unicorn yang menggelembung telah menyeret naik perusahaan venture capital dan menyuburkan banyak bisnis dari industri terkait lainnya.

Akan tetapi pada saat bersamaan meletakkan investor pada posisi yang lebih berisiko. Ketika kemudian technology unicorn tersebut mencatatkan sahamnya di bursa melalui IPO setelah sebelumnya melewati beberapa funding round maka investor pasar modal, termasuk investor ritel retail investor yang tergolong bukan sophisticated akan harus pula menanggung posisi yang lebih berisiko tersebut bersama-sama dengan investor terdahulu yang hampir seluruhnya berupa venture capital maupun investor sophisticated lainnya.

Padahal, jangankan untuk investor ritel, bahkan untuk banyak investor sophisticated pun, revenue model apalagi road to profitable di banyak perusahaan technology unicorn terlihat seperti fatamorgana, seolah dekat walaupun sebetulnya masih jauh di depan.

Memang jika dibandingkan dengan era tech bubble atau dot.com burst sekitar 20 tahun yang lalu, valuasi technology company pada saat ini jauh lebih solid, karena memiliki basis yang lebih kuat berdasarkan pada hal-hal yang sudah nyata pada saat ini.

Ketika di era tech bubble tersebut, valuasi dibuat berdasarkan visi future technology, terutama di dunia internet yang dijagokan akan digunakan oleh banyak orang, karena kemudahan dan nilai tambah yang dihasilkannya.

Di sisi lain valuasi pada saat ini dibuat berdasarkan business model yang berjalan di atas technology platform yang sudah eksis dan teruji serta memiliki revenue model yang jelas.

Apabila valuation burst di era tech buble disebabkan karena future technology yang ternyata tidak pernah eksis atau pada akhirnya hanya digunakan oleh sedikit orang maka valuation burst pada saat ini terjadi karena kegagalan membangun business model yang profitable melalui monetisasi pelanggan yang menggunakan technology platform tersebut.

Di dalam prakteknya valuation technology unicorn ini dilakukan oleh perusahaan venture capital dan investor yang ikut serta dalam funding round tersebut di mana driver utama dari valuasi ini adalah growth potential and expected development dan bukannya performa finansial.

Oleh karena itu, bukan hal yang tidak biasa jika ada technology unicorn yang valuasinya tinggi walaupun belum menghasilkan profit sama sekali. Dan dalam beberapa situasi khusus seperti ketika technology unicorn mengadopsi fast growth strategy, menjadi acquisition target dari technology giant atau memiliki newly develop technology maka valuasinya akan menjadi jauh lebih tinggi lagi.

Selain itu valuasi juga bisa melambung tinggi ketika terjadi merger yang dianggap strategis dan bernilai tinggi seperti misalnya yang terjadi dengan Gojek dan Tokopedia, yang setelah merger pada Mei 2021 bertransformasi menjadi GoTo dengan combined valuation berdasarkan funding round terakhir adalah US$18 miliar atau setara Rp252 triliun.

Valuasi dengan angka US$18 miliar ini bisa dianggap sebagai low number karena belum memperhitungkan strategic merger effect dari GoTo yang jelas terlihat.

Bahkan dengan angka ini pun valuasi GoTo sudah lebih tinggi dari Astra International atau Unilever yang valuasinya berada di kisaran Rp200 triliun.

Dan sementara Astra dan Unilever masing-masing sudah memiliki EBITDA (earnings before interest, taxes, depreciation and amortization) Rp26,7 triliun dan Rp 10,5 triliun maka baik Gojek maupun Tokopedia tampaknya belum memiliki figur EBITDA yang solid dan stabil, karena keduanya masih terlibat dalam perang akuisisi pelanggan yang sangat cash burned intensive di segmen industrinya masing-masing.

Sampai di sini bisa terlihat bahwa valuation technology unicorn memang berbeda dan berada di universe yang lain dibandingkan dengan perusahaan non technology, sehingga tidak akan mudah dipahami oleh investor retail.

Dalam perjalanannya kemudian valuation technology unicorn ini umumnya akan terus naik dalam funding round berikutnya sesuai tahapan pengembangan dan kenaikan traksi yang dicapai, sehingga ketika pada suatu saat sampai di tahapan IPO maka valuation itu sudah sampai di level yang sangat tinggi.

Di sisi lain road to profitable-nya mungkin masih sangat jauh di depan, seperti yang antara lain bisa dilihat dalam prospektus Bukalapak yang akan IPO di Bursa Efek Indonesia pada medio Agustus 2021.

Pada akhirnya situasi ini akan menempatkan investor ritel dalam posisi yang paling berisiko secara finansial, karena harus membayar lebih mahal tetapi tetap harus menanggung risiko kegagalan bisnis emiten yang sama besar dengan investor terdahulu yang masuk dengan valuasi yang lebih rendah dibandingkan dengan saat IPO.

Selain itu dengan entry price yang tinggi ketika masuk melalui IPO dan ditambah pula dengan porsi share ownership yang sangat kecil dibandingkan dengan investor terdahulu maka secara teoritis opsi yang dimiliki oleh investor ritel untuk exit tanpa menderita big loss adalah sangat terbatas, sementara investor terdahulu dapat exit melalui IPO dengan memperoleh capital gain yang memadai.

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Iwan Soemekto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper