Bisnis.com, JAKARTA – Tekanan likuiditas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) membuat perseroan dan pemerintah sebagai pengendali harus jungkir balik memikirkan jalan keluar. Para investor pun diminta untuk mencermati kepemilikan sahamnya di perusahaan pelat merah itu.
Direktur MNC Asset Management Edwin Sebayang menilai laporan keuangan per 31 Desember 2020 dari emiten bersandi GIAA tersebut sudah menunjukkan kinerja yang sebenarnya.
Total liabilitas perseroan juga membengkak menjadi US$12,73 miliar naik 228,75 persen dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$3,87 miliar.
Sementara itu, secara bottom line mencatatkan rugi usaha US$2,2 miliar. Capaian itu berbanding terbalik dari 2019 yang mencatatkan laba usaha US$95,98 juta. Ekuitas negatif pada 2020 sebesar US$1,94 miliar pun berbanding terbalik dari 2019 yang ekuitasnya positif US$582,57 juta.
"Kalau lihat dari lapkeu terakhir kewajiban sampai US$12 miliar, ekuitas negatif US$1,9 miliar. Sementara sudah ada dua lessor yang melanjutkan PKPU, yang jadi concern seberapa kuat sebenarnya pemerintah akan terus menerus bailout Garuda," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (18/7/2021).
Edwin mengingatkan bagi para investor ritel terutama pemegang saham GIAA untuk memperhatikan berbagai aksi korporasi ke depannya, termasuk usai adanya suspensi dari otoritas bursa akibat gagal bayar obligasi dari perseroan.
Baca Juga
Dia merekomendasikan jual begitu suspensi saham GIAA dibuka di harga berapapun. Sebab, menurutnya emiten tersebut masih diselimuti berbagai ketidakpastian baik dari segi restrukturisasi perseroan maupun operasionalnya hingga akhir tahun.
"Sekarang yang punya saham Garuda, begitu dibuka suspend, langsung jual, karena di tahun ini pasti suffering lagi, tak berbeda jauh dari 2020, berat sekali ini persoalannya sangat masif," urainya.
Lebih lanjut, terangnya, jika pemerintah tetap menilai penting untuk menyelamatkan Garuda maka perseroan mesti berbenah sejak dari dasar.
Pemegang saham pengendali, dalam hal ini pemerintah harus menerima dan berbesar hati memperkuat GIAA di penerbangan lokal saja. Pemerintah juga harus mendorong GIAA untuk selektif memilih destinasi penerbangan yang menguntungkan.
"Menurut saya pemerintah harus bertanya pada diri sendiri seberapa kuat melakukan bailout Garuda dan seberapa penting bailout itu untuk Garuda. Sementara dananya bisa ke sektor lain," urainya,
Sementara itu, Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan Garuda Indonesia tetap masuk dalam skema holding BUMN pariwisata walaupun keterlibatannya masih menanti hasil dari restrukturisasi perseroan.
Kementerian BUMN, terangnya, tengah mempersiapkan skema permodalan untuk dapat membantu menyelamatkan Garuda Indonesia ke depan.
"Cukup besar kebutuhan permodalan ini yang kami butuhkan, Rp3,5 triliun terkait permasalahan Garuda dimana kami dengan Kemenkeu ingin ada satu stand by facility yang nantinya digunakan untuk proses restrukturisasi Garuda yang kami sedang merancang," paparnya.
Skema tersebut, jelasnya masih dalam kajian, apakah pemberian dana tersebut melalui pengambilalihan alias akuisisi Citilink oleh pemerintah atau menggunakan dana tersebut untuk arus kas GIAA ketika berhasil restrukturisasi.
Dana hingga Rp3,5 triliun tersebut termasuk dalam permohonan penyertaan modal negara (PMN) dari Kementerian BUMN kepada Kementerian Keuangan untuk tahun anggaran 2022.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.