Bisnis.com, JAKARTA - PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) menetapkan rentang harga Rp750-Rp850 dalam penawaran umum saham perdana. Dengan pembukukan yang masih rugi, bagaimana cara menghitung valuasinya?
Dalam prospektusnya, Bukalapak akan melepaskan saham sebanyak-banyaknya 25.765.504.851 saham atau dibulatkan 25,76 miliar saham. Nilai nominal Rp50, yang mewakili sebanyak-banyaknya 25 persen dari modal ditempatkan dan disetor setelah initial public offering (IPO).
Harga penawaran IPO Bukalapak berkisar Rp750-Rp850. Artinya, raksasa e-commerce itu berpotensi meraup dana dari IPO dengan kisaran Rp19,32 triliun-Rp21,9 triliun.
Aksi IPO Bukalapak akan menjadi yang terbesar di BEI. Sebelumnya, rekor tertinggi dipegang PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) yang meraih dana IPO senilai Rp12,25 triliun pada 2008 silam.
Pengamat Pasar Modal Rivan Kurniawan, yang dikenal menerapkan value investing dalam berinvestasi, menyampaikan untuk menghitung valuasi Bukalapak dapat menggunakan metode price to sales ratio. Berdasarkan paparan publik Bukalapak hari ini, jumlah saham beredar Bukalapak mencapai 103,06 miliar lembar saham.
Dalam laporan keuangan kuartal I/2021, Bukalapak mencatatkan pendapatan Rp423,7 miliar. Dengan asumsi tersebut, pendapatan disetahunkan sekitar Rp1,69 triliun.
Baca Juga
Dengan demikian, perhitungan revenue per share-nya menjadi Rp1,69 triliun dibagi 103,06 miliar lembar saham, yakni Rp16 per saham. Maka harga book building IPO Bukalapak Rp750-Rp850 itu merefleksikan price to sales ratio sebesar 45,6 kali-51,7 kali.
"[Harga penawaran Rp750-850] kemahalan karena price to sales ratio-nya tinggi. Padahal, wajarnya price to sales ratio itu di bawah 5 kali," paparnya saat dikonfirmasi Bisnis, Jumat (9/7/2021).
Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, minat investor untuk saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) akan cukup besar. Minat yang tinggi ini terutama akan datang dari investor ritel.
Wawan menjelaskan, minat investor terhadap saham BUKA salah satunya disebabkan oleh prospek bisnisnya yang positif. Saat ini, e-commerce menurutnya menjadi sektor yang dipandang tumbuh dan memiliki prospek yang baik.
Di sisi lain, sektor teknologi memang tengah naik daun dalam beberapa waktu belakangan. Hal ini terlihat dari animo investor dan pasar terhadap saham-saham di sektor ini seperti ARTO pada segmen bank digital.
“Banyak investor ritel yang berharap sentimen ini juga akan terjadi di IPO BUKA,” katanya saat dihubungi pada Jumat (9/7/2021).
Meski demikian, Wawan memprediksi serapan investor ritel terhadap saham BUKA tidak akan mencapai harapan manajemen. Pasalnya, target dana IPO yang di atas Rp20 triliun diyakini terlalu tinggi untuk investor ritel.
Sementara itu, Wawan menilai investor institusi akan lebih fokus ke fundamental dan likuiditas perusahaan. Dengan IPO yang begitu besar, ia mengatakan faktor likuiditas seharusnya tidak jadi masalah untuk investor institusi.
Namun, dari sisi fundamental, laporan keuangan menyebutkan BUKA masih merugi. Hal ini juga ditambah dengan valuasinya yang tidak murah. Faktor tersebut membuat investor institusi masih berpikir panjang sebelum memutuskan untuk membeli saham BUKA.
“Institusi yang mau masuk harus mempertimbangkan faktor risiko dan idealnya lebih ke prospek jangka panjangnya,” tambah Wawan.
Sementara itu, perbaikan kinerja dan profitabilitas menjadi salah satu fokus Bukalapak setelah IPO.
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan perusahaan mengincar pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Dia pun ingin menghapus stigma perusahaan teknologi kalau mau tumbuh harus 'bakar' uang lebih banyak.
"Kami di Bukalapak berbeda, kami ingin bertumbuh, memperbaiki profitabilitas, sehingga pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan," ujarnya dalam acara paparan publik Penawaran Saham Perdana PT Bukalapak.com Tbk., Jumat (9/7/2021).
Menurut Rachmat, pertumbuhan itu sudah terasa pada periode 2018-2020. Tahun lalu, Bukalapak mencatatkan pendapatan Rp1,35 triliun, naik dari 2019 senilai Rp1,07 triliun, dan 2018 sebesar Rp292 miliar. Pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) mencapai 115 persen.
Total transaksi di Bukalapak mencapai Rp85,08 trilun, naik dari 2019 sebesar Rp57,39 triliun, dan 2018 sejumlah Rp28,34 triliun.
Dari sisi Ebitda, Bukalapak membukukan -Rp1,67 triliun pada 2020 dibandingkan -Rp2,68 triliun pada 2019 dan -Rp2,22 triliun pada 2018. Rachmat menyampaikan, perbaikan Ebitda sudah mencapai Rp1 triliun tahun lalu.
"Ebitda sudah membaik 1 triliun lebih, kami berharap tren perbaikan ini berlanjut," katanya.
Mengutip laporan keuangan perseroan, Bukalapak memang masih mencatatkan rugi bersih. Pada 2020, rugi bersih mencapai -Rp1,35 triliun, turun dari tahun sebelumnya -Rp2,79 triliun.
Rugi bersih per saham yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham entitas induk -Rp171,48, berkurang dari sebelumnya -Rp365,79.