Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja moncer saham lapis dua, khususnya yang berkaitan dengan sektor teknologi tidak membuat manajer investasi serta merta memasukkan saham-saham dari sektor tersebut dalam portofolio mereka. Volatilitas harga dan kinerja fundamental menjadi pertimbangan utama.
Direktur Utama PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra tidak memungkiri bahwa belakangan ini ada euforia terhadap saham-saham small medium caps (SMC) terutama di sektor teknologi dan perbankan, terutama yang terkait bank digital, seiring potensi IPO perusahaan teknologi raksasa di Indonesia seperti GoTo Group dan Bukalapak.
Dia juga mengamini bahwa secara year to date, performa indeks harga saham gabungan (IHSG) masih didominasi oleh saham-saham SMC karena mayoritas saham big caps memiliki kinerja yang cenderung loyo.
Akan tetapi, secara historikal, Guntur menilai pergerakan saham-saham SMC sangat volatil dan banyak di antaranya—meski tidak seluruhnya—memiliki volume transaksi perdagangan yang sangat tipis dan rentan terhadap perdagangan semu atau manipulasi harga.
“Jadi balik lagi, kita masih harus menunggu, apakah SMC yang secara kinerja harga di bursa baik, secara fundamental dan earning quality mereka juga harus proven ke depannya,” tutur Guntur kepada Bisnis, Selasa (22/6/2021).
Mengenai porsi SMC ke dalam portofolio, Guntur menilai penempatan saham-saham SMC di produk reksa dana akan bergantung pada dari jenis dan strategi reksa dana dan portofolio masing-masing manajer investasi.
Menurutnya, beberapa saham yang sedang naik daun tersebut memang ditransaksikan secara aktif dan secara kapitalisasi pasar juga sudah masuk transisi dari SMC ke kelompok saham dengan market cap besar.
“Tetap perlu diperhatikan karena masih banyak emiten di antara tersebut memiliki kinerja fundamental yang belum terbukti dan harus dicermati lebih lanjut,” ujar Guntur.
Adapun, imbuhnya, jika ternyata secara kinerja dan fundamental meiten-emiten tersebut terbukti baik, bahkan berpotensi masuk ke indeks, baik baik lokal seperti DX30 & LQ45 ataupun index global seperti FTSE & MSCI, maka secara tidak langsung MI akan menambahkan saham tersebut ke produknya.
“Secara otomatis, dengan adanya bobot saham tersebut di dalam indeks, fund manager, terutama fund yang menerapkan strategi pasif akan include saham-saham tersebut ke dalam portofolio mereka ke depannya,” jelas dia.
Untuk produk Pinnacle sendiri, Guntur mengaku bobot saham-saham SMC yang ada dalam portofolio mereka masih sangat kecil karena mayoritas reksa dana berbasis saham, termasuk produk ETF saham Pinnacle masih terkonsentrasi di saham big caps.
“Memang fokus utama kami dalam menerapkan manajemen risiko salah satunya faktor likuiditas. Mayoritas saham di portofolio kami pada saat ini masih saham blue chip yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi jadi belum banyak saham SMC yang menjadi top holding di RD maupun ETF kami,” tuturnya.
Meskipun demikian, dia tak menutup kemungkinan akan menambah eksposur ke saham SMC di masa mendatang. Pun, salah satu kriteria yang harus terpenuhi adalah likuiditas serta potensi emiten tersebut untuk bisa dapat deliver earning quality di kemudian hari.
Terkuak! 2 'Faktor X' Ini Jadi Pertimbangan MI Sebelum Lirik Saham Teknologi
Secara historikal, pergerakan saham-saham SMC sangat volatil dan banyak di antaranya—meski tidak seluruhnya—memiliki volume transaksi perdagangan yang sangat tipis dan rentan terhadap perdagangan semu atau manipulasi harga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Dhiany Nadya Utami
Editor : Hadijah Alaydrus
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
38 menit yang lalu
MR DIY Patok Harga IPO Rp1.650-Rp1.870 per Saham, Intip Kinerja Labanya
42 menit yang lalu
Reli Bitcoin Menuju US$100.000 Terhambat, Ini Pemicunya
51 menit yang lalu