Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rancangan Regulasi BEI dan OJK Sudah Akomodatif, Unikorn Siap IPO?

Secara garis besar rancangan aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendukung perusahaan rintisan IPO dinilai sudah cukup akomodatif
Dari kiri-kanan: Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi dalam Seremoni Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2021, Senin (4/1/2021).
Dari kiri-kanan: Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi dalam Seremoni Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2021, Senin (4/1/2021).

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai rancangan aturan baru dari otoritas terkait IPO perusahaan rintisan dinilai sudah mengakomodasi unikorn untuk segera melantai di Bursa Efek Indonesia.

Managing Partner Ideosource VC & Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan bahwa secara garis besar rancangan aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendukung perusahaan rintisan IPO sudah cukup akomodatif dan baik untuk menyaring kemungkinan penyalahgunaan.

“Sudah mengakomodasi, dan sepertinya pembuat aturan tersebut cukup mengerti pola dan kondisi startup dengan karakteristik disrupsi itu,” ujar Edward kepada Bisnis, Selasa (15/6/2021).

Untuk diketahui, OJK akan melakukan beberapa penyesuaian kebijakan sebagai upaya mendorong perusahaan rintisan listing di BEI. Salah satunya adalah dengan multiple voting share (MVS) atau saham dengan hak suara multipel (SHSM).

Selain itu, BEI akan revisi Peraturan BEI Nomor 1-A dengan menyediakan lima alternatif persyaratan baru sebagai pintu perusahaan rintisan tercatat di Papan Utama dan Papan Pengembangan.

Di sisi lain, Edward menilai tampaknya aturan itu sangat menyasar perusahaan rintisan yang telah memiliki valuasi menembus US$1 miliar atau setara Rp14 triliun dengan asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS atau unicorn.

Hal itu tercermin dari salah satu syarat emiten untuk IPO dengan SHSM adalah memiliki nilai aset minimal Rp2 triliun. Ketentuan itu diyakini hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan rintisan bergelar unicorn.

Dia mengatakan bahwa alangkah baik syarat minimal aset IPO dengan SHSM disamakan oleh IPO Pengembangan sebesar Rp150 miliar.

“[Rancangan aturan] bisa menarik perusahaan rintisan untuk IPO, kalau dari sisi valuasi dengan besaran, perusahaan rintisan bergelar centaur sudah banyak, tetapi dari sisi aset pasti masih sulit untuk mencapai Rp2 triliun,” papar Edward.

Sebagai informasi, centaur adalah perusahaan rintisan yang calon unikorn yang telah mencapai valuasi lebih dari US$100 juta atau Rp1,4 triliun.

Di sisi lain, dia pun mengatakan bahwa sudah terdapat beberapa unikorn asal Indonesia yang mengungkapkan keinginannya untuk melantai di bursa.

Secara terpisah, Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Karman Pamurahardjo mengatakan bahwa pihaknya akan mengajak otoritas melakukan dialog lebih detail terkait teknis RPOJK terkait IPO dengan SHMS.

“Yang APEI lihat, kenapa Rp2 triliun? kenapa batasan kepemilikan 47,3 persen, dan detail teknis lainnya. Apa ini emang hanya untuk unikorn saja? Bagaimana dengan perusahaan rintisan yang sudah nyaris unikorn,” ujar Karman kepada Bisnis, Selasa (15/6/2021).

Namun, secara garis besar rancangan aturan OJK dan BEI sudah akomodatif untuk menjawab beberapa poin yang selama ini menjadi kendala bagi perusahaan rintisan untuk IPO.

Dia menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 3 poin utama permintaan perusahaan rintisan terhadap otoritas pasar modal nasional.

Pertama, permintaan indeks klasifikasi sektoral untuk dibedakan dengan sektor teknologi yang sudah ada. BEI pun belum lama ini telah memperbarui klasifikasi indeks sektoral menjadi IDX-IC menggantikan Jasica.

Kedua, terkait ketentuan jenis aset dalam papan pencatatan mengingat umumnya perusahaan rintisan memiliki aset intangible yang lebih besar dibandingkan dengan aset tangible. Berbeda dengan perusahaan lainnya.

Ketiga, terkait kontrol hak suara pengendali mengingat perusahaan rintisan umumnya melakukan banyak crowdfunding yang jika ditransfer sebagai kepemilikan saham, maka pendiri memiliki porsi saham yang kecil.

Oleh karena itu, OJK menyesuaikan kebijakan IPO dengan SHMS karena dengan itu masih tetap menjaga pengendalian dari para founders yang merupakan key person sebuah perusahaan.

Dengan tetap menjadi pengendali, walaupun persentase kepemilikan nya kecil, para founders ini tetap memiliki power untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan jangka panjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper