Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok aturan untuk mendukung perusahaan rintisan unicorn melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO).
Dalam paparan OJK pada rapat kerja DPR Evaluasi Perekonomian dikutip Bisnis, Selasa (15/06/2021), otoritas akan melakukan beberapa penyesuaian kebijakan sesuai dengan karakter perusahaan rintisan unicorn sebagai upaya mendukung perusahaan itu listing di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Setidaknya terdapat 7 poin utama yang menjadi pokok perhatian otoritas, yaitu MVS, peraturan pencatatan saham di BEI, relaksasi implementasi e-IPO, aksi private placement, definisi dan pertanggungjawaban pemegang saham pengendali, penggabungan unicorn sebelum IPO, dan penerbitan pra-IPO obligasi konversi.
Untuk mendukung keberlanjutan bisnis unicorn, OJK akan menyusun aturan terkait pelaksanaan IPO dengan multiple voting share (MVS) atau saham dengan hak suara multipel (SHSM).
Aturan tersebut akan masuk ke dalam Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) POJK.04/2021 tentang penerapan klasifikasi saham dengan hak suara multipel oleh emiten dengan inovasi dan tingkat pertumbuhan tinggi yang melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas.
Untuk diketahui, SHSM adalah saham yang memiliki hak suara lebih dari satu. Pemegang SHSM akan memiliki hak suara yang lebih tinggi dari porsi kepemilikannya, bergantung kepada rasio voting power setiap struktur SHSM.
Baca Juga
Penerapan SHSM adalah untuk menjaga pengendalian dari para founders yang merupakan sosok kunci sebuah perusahaan.
Selain itu, OJK Pasar Modal bersama dengan BEI tengah membahas usulan revisi Peraturan BEI Nomor 1-A.
Dalam revisi aturan itu, otoritas akan menyediakan lima alternatif persyaratan baru sebagai pintu unicorn untuk tercatat di Papan Utama dan Papan Pengembangan.
Hal itu mengingat umumnya perusahaan rintisan masih mencatatkan rugi untuk beberapa tahun pertama terbentuk.
Perlakuan khusus
OJK merelaksasi implementasi e-IPO bagi unicorn lantaran mempertimbangkan ukuran IPO unicorn yang jumbo dan pemesan publik yang diperkirakan sangat banyak.
Tidak hanya itu, OJK juga akan membuat aturan pengecualian atas jumlah saham yang dapat diterbitkan dalam aksi penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu atau private placement.
Aturan itu nantinya akan dibuat terpisah dalam rancangan berbeda, yaitu RPOJK Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi.
OJK juga akan meminta unicorn yang melakukan merger sebelum IPO untuk menyampaikan laporan keuangan konsolidasi audited pasca akuisisi sebagai bagian dari dokumen pernyataan pendaftaran IPO untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai kondisi keuangan setelah merger.
Sementara itu, dalam hal penerbitan pra-IPO obligasi konservasi sebelum pernyataan pendaftaran kepada OJK, maka untuk penerbitan saham baru akibat pelaksanaan konversi dapat tidak mengikuti POJK Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan Atas POJK Nomor 32/POJK.04/2 015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
BEI pun mengusulkan agar jatuh tempo obligasi konversi tidak terlalu panjang (6 bulan setelah IPO) dengan harga yang tidak terlalu di bawah harga IPO.
Di sisi lain, OJK juga akan mengantur definisi pengendali secara kualitatif, jadi bukan melihat jumlah saham namun melihat atas hak suara yang dimiliki pengendali.
OJK pun memastikan hal ini tidak bertentangan dengan UUPT dimana pengendalian telah diacu berdasarkan hak suara.