Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah nasabah Minna Padi Aset Manajemen kembali menyuarakan untuk dibukanya ruang mediasi guna menyelesaikan masalah likuidasi sejumlah produk reksa yang masih terkatung-katung.
Perwakilan nasabah meminta ada iktikad baik dari pihak manajer investasi dan tindakan tegas dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai wasit pasar modal.
Ini karena dari nilai investasi sebesar Rp4,8 triliun di 6 produk reksa dana yang dijual Minna Padi belum semuanya kembali kepada nasabah. “Sejauh ini baru 20 persen yang dibayar pada Maret 2020,” ujar Jackson, salah satu nasabah Minna Padi, dalam konferensi pers, Jumat (11/6/2021).
Keenam reksa dana tersebut adalah Amanah Saham Syariah, Hastinaputra Saham, Pringgodani Saham, Pasopati Saham, Properti Plus Saham dan Keraton II.
Pihak MI pada 28 April lalu menyurati para pemegang unit penyertaan untuk reksa dana Minna Padi Pringgondani Saham yang isinya a.l menyebut proses likuidasi hampir memasuki tahap final.
Dalam surat itu juga dicantumlah sejumlah saham yang akan dibagikan kepada pemegang unit penyertaan yang memilih opsi 'in kind'.
Baca Juga
Saham-saham itu adalah AISA, ANDI, ARMY, BBHI, BKDP, BRIS, BTEK, BUVA, CITY, CNKO, CPRO, ELTY, HADE, HOME, IDPR, IIKP, IPCM, JMAS, KPAL, KRAS, LCGP, MABA, MARI, MDLN, MINA, MOLI, MTPS, NASA, NUSA, NZIA, PADI, PBRX, PRIM, RAJA, RBMS, RIMO, SRSN, TARA, dan TDPM.
Adapun bagi pemegang unit penyertaan yang memilih opsi pengembalian dan tunai akan dibuatkan surat konfirmasi tertulis.
"Bagi PUP [pemegang unit penyertaan] yang memilih opsi in cash, kami informasikan bahwa nanti akan dibutuhkan surat konfirmasi tertulis sesuai dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kelengkapan administrasi agar pembagian hasil likuidasi RD Pringgondani dapat didistribusikan ke Rekening Bank masing-masing PUP," tulis Direktur MPAM Budi Wihartanto, dikutip dari web resminya.
Meskipun sudah dijanjikan penyelesaian, nasabah mempertanyakan soal klausula yang ditawarkan yakni tambahan pengembalian belasan persen. Dengan begitu, total yang akan diterima nasabah hanya berkisar 30 persen dari nilai aktiva bersih reksa dana saat pembubaran.
“Ini bukan sekadar kasus gagal bayar, tetapi kasus pelanggaran [UU dan peraturan OJK]. Sudah jelas di surat OJK,” imbuh Jackson.
Karena itu, dia dan sejumlah nasabah lain menuntut MPAM bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya berdasarkan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Bahkan, jika merujuk pada ketentuan POJK Nomor 10/POJK.04/2018 tentang Penerapan Tata Kelola Manajemen Investasi, dewan komisaris ikut wajib bertanggung jawab secara pribadi karena lalai menjalankan pengawasan.
Adapun direksi juga harus bertanggung jawab atas kerugian manajer investasi apabila lalai menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan POJK Nomor 10/POJK.04/2018.
Karenanya, Jackson minta manajer investasi melakukan pembayaran unit penyertaan dimulai dengan menggunakan nilai aktiva bersih (NAB) pembubaran pada tanggal 25 November 2019 sebagai dasar penghitungan sesuai dengan POJK No. 23/POJK.04/2016 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Indikasi awal pelanggaran dalam pemasaran produk reksa dana diungkapkan OJK dalam surat bernomor S-1240/PM.21/2019 tertanggal 9 Oktober 2019.
Disebutkan, ada indikasi penawaran Reksa Dana Minna Padi Pasopati Saham dengan menjanjikan imbalan pasti atau fixed return sebesar 11% dalam tempo 6-12 bulan. Hal serupa juga terjadi pada produk RD Pringgodani Saham.
Sementara itu, dalam surat S-1442/PM.21/2019 tertanggal 21 November 2019, OJK memerintahkan pembubaran 6 produk reksa dana MPAM yang digunakan dalam pemasaran dengan jangka waktu dan return tertentu.
Otoritas juga memberhentikan Djayadi dari posisi Direktur Utama MPAM. “Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi MPAM wajib mengikuti Penilaian Kembali (Uji Kelayakan dan Kepatutan),” tulisnya dalam surat yang diteken oleh Kepala Departemen PEngawasan Pasar Modal 2A Yunita Linda Sari.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arman Nefi menilai dalam kasus seperti ini dibutuhkan iktikad baik dari para pihak berdasarkan tindakan, bukan hanya sekedar niat dan omongan.
“Setelah kejadian seperti ini, ada tidak musyawarah mufakat? Sepertinya tidak dilakukan,” katanya dalam talk show “Minna Padi: Kasus Pelanggaran atau Gagal Bayar?”
Menurutnya, jalur pidana bisa ditempuh tetapi harus jadi opsi paling akhir. Sebelum ke ranah pidana, meskipun kasusnya sudah memenuhi syarat, sebaiknya para pihak melakukan mediasi.
Jika tidak tercapai kesepakatan, bisa menempuh jalur arbitrase sebagaimana tertuang dalam kontrak investasi yang tertulis di prospektus reksa dana.
Di sisi lain, lanjutnya, OJK sebenarnya bisa bertindak lebih tegas menjalankan kewenangan besar yang selama ini dimiliki.
Hasan Zein Mahmud, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode 1991-1996, mengingatkan bahwa sebaiknya nasabah tetap mencari solusi dalam koridor hukum atau secara legal.
Bagi investor atau calon investor, perlu tahu seluk-beluk produk apa yang akan dibeli sebelum mulai investasi. Ini karena setiap investasi selalu mengandung risiko.
Untuk MPAM, Hasan berpesan agar berani bertanggung jawab. “Tampillah kalau Anda punya kehormatan,” ujarnya.
Kepada OJK, Hasan mengingatkan soal kewenangan besar yang dimiliki agar digunakan untuk melindungi investor. Maklum saja, jumlah investor pasar modal yang saat ini mencapai 5 juta mayoritas adalah investor kecil atau ritel (individu).
“Undang-undangnya sudah cukup bagus kok, tetapi tidak ada artinya kewenangan besar jika tidak ada exercise,” katanya.