Bisnis.com, JAKARTA – Harga Bitcoin kemungkinan akan sulit kembali ke kisaran level tertingginya sepanjang masa. Meski demikian, hal ini dapat menjadi peluang emas bagi investor yang berminat masuk ke aset kripto tersebut.
Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan, tren negatif pada Bitcoin belakangan ini disebabkan oleh pengetatan regulasi yang dilakukan China terkait aset-aset digital. Hal ini juga ditambah sentimen serupa dari AS terkait kebijakan-kebijakan pengawasan yang akan dilakukan oleh IRS.
“Kabar terkait FBI yang berhasil mengembalikan uang tebusan kasus Colonial Pipeline juga memberi imbas negatif pada Bitcoin untuk saat ini,” jelasnya saat dihubungi Bisnis pada Rabu (9/6/2021).
Wahyu melanjutkan, investor sebaiknya mewaspadai pergerakan Bitcoin dalam beberapa waktu. Ia melanjutkan, fluktuasi signifikan pada harga Bitcoin bukanlah yang pertama kali terjadi.
Pada periode 2017 -2018 lalu, harga Bitcoin tercatat terjun bebas dari kisaran US$19.000 menjadi US$4.000. Tren penurunan harga Bitcoin saat ini menunjukkan pola yang serupa seperti periode waktu tersebut.
Menurutnya, apabila investor tidak dapat bermanuver secara agresif di pasar, sebaiknya menjaga capital yang dimiliki saat ini. Investor dapat menentukan level stop loss atau exit level yang tepat sebelum mengalami kerugian yang signifikan.
Baca Juga
“Investor juga dapat bertahan saat anjlok, tetapi dengan risiko pelemahan margin,” katanya.
Ia mengatakan, target harga Bitcoin saat ini kemungkinan akan lebih rendah setelah mencapai level tertingginya pada April lalu. Apabila Bitcoin kembali menembus level US$40.000, maka pergerakan bullish aset ini dapat berlanjut.
Sebaliknya, apabila gagal kembali ke level tersebut, potensi pelemahan lebih lanjut semakin terbuka. Wahyu memprediksi, harga Bitcoin dapat kembali ke kisaran US$10.000 hingga US$12.000 apabila gagal menembus US$40.000.
Wahyu melanjutkan, penurunan harga Bitcoin yang terjadi saat ini dapat dijadikan pintu masuk bagi para investor untuk mencoba berinvestasi pada aset ini.
Meski demikian, ia mengingatkan investor untuk memahami betul risiko yang ada pada instrumen ini. Pasalnya, kondisi pasar dan risiko aset kripto dengan aset jenis lainnya sangat jauh berbeda.
Wahyu melanjutkan, profil investor Indonesia yang masuk pada Bitcoin belum mencerminkan pemahaman komprehensif terhadap jenis aset kripto. Menurutnya, investor-investor di Indonesia cenderung mengikuti tren sehingga tidak memperhitungkan risiko yang mungkin ditanggung.
Ke depannya, Wahyu mengatakan, popularitas aset kripto akan semakin relevan seiring dengan perkembangan teknologi global yang tidak dapat dilawan. Ia mengatakan, dampak aset kripto sudah terlihat dari penurunan aset-aset lama seperti emas atau dolar AS.
Hal ini akan meningkatkan legitimasi aset kripto sebagai pilihan investor untuk melakukan diversifikasi. Untuk itu, Wahyu mengingatkan kepada investor yang berminat masuk pada instrumen ini untuk memilih waktu yang tepat untuk terjun ke aset kripto.
Wahyu memaparkan, strategi umum dari aset-aset kripto adalah melawan dolar AS. Uang dolar AS fiat akan makin turun nilainya dan membutuhkan aset lindung nilai atau alternatif. Saat ini, aset-aset kripto juga perlahan menggeser kedudukan emas yang dulunya menjadi andalan.
“Risikonya hanya soal kapan waktu dan modal yang tepat,” lanjutnya.
Kendati demikian, Wahyu juga mengingatkan kepada investor untuk hanya menjadikan aset kripto sebagai instrumen untuk diversifikasi aset.
Menurutnya, apabila investor terlalu mengandalkan aset-aset kripto sebagai instrumen utama, potensi penurunan capital gain akan semakin tinggi. Pasalnya, volatilitas pasar kripto sangat tinggi dibandingkan kelas aset lainnya seperti obligasi.
“Jadi, aset-aset kripto sebaiknya dijadikan sebagai salah satu opsi, bukan opsi satu-satunya,” pungkas Wahyu.