Bisnis.com, JAKARTA - Emiten penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), kembali melakukan restrukturisasi bisnis sebagai upaya untuk pemulihan keuangan.
Pengamat BUMN Toto Pranoto mengatakan bahwa aspek pengelolaan keuangan menjadi sangat krusial bagi seluruh perusahaan penerbangan, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
“Dalam case GIAA karena pendanaan negara terbatas. Maka selain pinjaman modal kerja dari pemerintah, GIAA juga harus mampu memperoleh alternatif financing lainnya,” ujar Toto kepada Bisnis, Minggu (23/5/2021).
Dia menjelaskan bahwa upaya refinancing itu bisa melalui minta pengunduran waktu pelunasan obligasi seperti misal memperpanjang tenor, maupun refinancing dari mitra pemasok.
Hal itu pun seperti yang pernah dilakukan GIAA belum lama ini dengan persetujuan perpanjangan obligasi sukuk jatuh tempo.
Untuk diketahui, GIAA telah mendapatkan dana segar dari penerbitan obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB) yang merupakan bagian program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Baca Juga
GIAA itu akan menerbitkan obligasi wajib konversi (OWK) dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp8,5 triliun lewat mekanisme penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement.
Adapun, GIAA akan melakukan restrukturisasi bisnis yang mencakup pengurangan jumlah armada pesawat hingga 50 persen.
Upaya tersebut perlu dilakukan guna mengatasi krisis yang diakibatkan oleh pandemi virus Corona. Dari total 142 pesawat yang dimiliki, GIAA akan memangkas hanya menjadi memiliki 70 pesawat yang beroperasi.
Jumlah armada pesawat tersebut mencakup seluruh sektor usaha GIAA kecuali untuk Citilink. Irfan menyebutkan, Garuda Indonesia saat ini beroperasi dengan 41 pesawat dan tidak dapat menerbangkan armada yang tersisa karena tidak dapat membayarkan utang kepada kreditur selama berbulan-bulan.
Sebelumnya, GIAA juga mengumumkan tengah berada dalam tahap awal penawaran program pensiun dini yang efektif 1 Juli 2021 sebagai upaya penghematan biaya.
Toto menilai pengurangan jumlah SDM itu merupakan langkah turn around yang dilakukan banyak maskapai lainnya, sehingga langkah itu cukup relevan dengan upaya membuat cost structure yang lebih ramping. “Pemilihan armada yang lebih selektif, terbatas akan menghemat ongkos biaya operasional dan perawatan,” papar Toto.