Bisnis.com, JAKARTA – Tembaga menjadi salah satu komoditas yang berkinerja terbaik. Harga komoditas ini dalam beberapa hari perdagangan kembali menembus US$10.000 per ton seiring dengan dimulainya aktivitas industri.
Berdasarkan data Bloomberg, harga tembaga minggu lalu mencapai US$10.000 untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, didorong oleh lonjakan output manufaktur di semua bagian ekonomi industri.
Seperti diketahui, harga tembaga mencatatkan rekor tertingginya pada februari 2011 lalu di angka US$10.190 per ton. Sementara pada perdagangan Rabu (5/6/2021), harga tembaga pada London Metal Exchange (LME) sempat menguat hingga ke level US$10.040 per ton sebelum diperdagangkan pada level US$9.949,50 per ton.
Adapun, secara year to date (ytd), harga komoditas yang dijuluki sebagai kompas perekonomian global ini telah menguat sebesar 28,12 persen pada LME.
Penguatan harga tembaga ini juga dipicu pernyataan Menteri Keuangan AS Janet Yellen yang tidak melihat adanya kemungkinan peningkatan suku bunga acuan untuk menghambat laju inflasi akibat gelontoran paket stimulus yang dikeluarkan Presiden AS Joe Biden.
Kenaikan permintaan harga dan permintaan ini membuat investor lebih berhati-hati melihat peluang kenaikan harga tembaga ini. Sehingga investor fokus pada pembukaan kembali dan pemulihan permintaan.
“Logam industri terus menguat di tengah kenaikan ekspektasi inflasi. Investor semakin fokus pada pembukaan kembali dan pemulihan permintaan, terutama di luar China, yang telah menjadi lebih jelas akhir-akhir ini," ungkap Warren Patterson dan Wenyu Yao, ahli strategi komoditas ING Groep NV dikutip dari Bloomberg pada Kamis (6/5/2021).
Bank-bank besar, termasuk Goldman Sachs Group Inc., dan trading house seperti Trafigura Group telah memperkirakan harga tembaga akan melampaui rekor 2011 mereka sebagai global dekarbonisasi mendorong peningkatan konsumsi.
Sehingga pasar tembaga global akan mengalami defisit tahun ini karena permintaan melonjak 6 persen, melampaui pertumbuhan pasokan, menurut Bank of America Corp dikutip Bloomberg.
Bank tersebut mengatakan lonjakan harga bisa menjadi US$13.000 karena persediaan menipis. Namun persediaan sisa meningkat akan membantu mengembalikan keseimbangan pasar pada tahun 2023.
Sementara itu berdasarkan laporan Commodity Market Outlook April 2021 disebutkan pergerakan harga yang tajam pada hampir di seluruh sektor komoditas dapat memiliki dampak makroekonomi yang signifikan bagi eksportir komoditas, dengan banyak pasar dan negara berkembang yang sangat bergantung pada logam, terutama tembaga dan aluminium, untuk pendapatan ekspor.
“Guncangan harga logam tampaknya memiliki dampak asimetris, dengan kenaikan harga yang kecil dan bersifat sementara di ekspansi aktivitas, tetapi penurunan harga diasosiasikan dengan perlambatan pertumbuhan yang lebih nyata serta pendapatan fiskal dan kerugian ekspor,” tulis Bank Dunia dalam laporan Commodity Market Outlook April 2021, dikutip Kamis (6/5/2021).
Laporan ini kemudian menyoroti pentingnya langkah-langkah kebijakan counter-cyclical ketika menanggapi perubahan harga komoditas. Disebutkan bahwa guncangan harga tembaga ini diperkirakan juga akan berlaku sama dengan lonjakan harga logam lainnya.
Pada Emerging Market dan Developing Economies (EMDE) bagian eksportir tembaga ditemukan peningkatan aktivitas ekonomi secara statistik setelah harga tembaga naik signifikan.
Namun di sisi importir tembaga tidak ditemukan pengaruh signifikan, sejalan dengan dampak logam jenis lainnya. Respon asimetris juga yang diamati pada eksportir tembaga di mana lonjakan harga tembaga diperkirakan akan menyebabkan peningkatan output di EMDE pengekspor tembaga sebesar 0,07 persen setelah dua tahun.
Namun kemudian efek tersebut menghilang dan menjadi jatuhnya output harga tembaga lebih dari tiga kali lipat (0,22 persen) dalam dua tahun setelah guncangan. Lalu efek tersebut akan tetap ada signifikan selama tiga tahun.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim. Menurutnya saat ini harga tembaga bisa melonjak tajam dikarenakan penggunaan instrumen hedging atau lindung nilai di pasar saham.
“Ini hanya permainan spekulan yang bermain hedging karena mereka tidak bisa bermain di fisik sehingga mereka bermain di hedging, di saham secara long term,” ujar Ibrahim saat dihubungi Bisnis pada Kamis (6/5/2021).
Menurutnya para pelaku pasar memanfaatkan informasi yang ada dan kemudian membuat harga tembaga naik secara statistik hingga sampai menembus harga US$10.000 per ton. Trik ini menurutnya tidak hanya terjadi pada tembaga melainkan juga pada komoditas lain.
Ibrahim mengungkapkan secara fisik saat ini tidak ada sama sekali pergerakan karena negara dalam kondisi resesi. Walaupun memang perekonomian sudah membaik, tetapi selama pandemi Covid-19 ini bisa dilihat dari banyaknya negara yang melakukan lockdown bahkan sampai saat ini yang membuat aktivitas ekonomi tersendat.
Sehingga hedging bisa dimanfaatkan oleh perusahaan tembaga untuk menutupi kerugian fisik yang terjadi selama masa pandemi. Namun karena kenaikan harga yang signifikan ini, Ibrahim memperkirakan harga tembaga akan mengalami penurunan setelah masa pandemi.“Jadi itu kenaikan tidak sesuai dengan kodratnya, sehingga pada saat nanti ekonomi membaik, harga tembaga bukan lagi naik, pasti akan turun,” kata Ibrahim.