Bisnis.com, JAKARTA - Harga biji kedelai terus menguat dan mencapai titik tertingginya dalam tujuh tahun. Reli tersebut terjadi di tengah lambannya proses panen dan distribusi di negara produsen ke pasar global yang menimbulkan kekhawatiran akan kelangkaan komoditas ini.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (24/2/2020), harga biji kedelai berjangka untuk kontrak Mei 2021 terpantau naik hingga 2,9 persen ke US$14,2825 per bushel. Secara year to date (ytd) harga biji kedelai telah naik 7,18 persen.
Kenaikan harga biji kedelai salah satunya ditopang oleh masalah produksi yang dialami oleh Brazil, negara penghasil biji kedelai terbesar di dunia. Proses panen tanaman kedelai di negara tersebut menunjukkan progres yang lamban seiring dengan cuaca hujan yang dialami pada sejumlah wilayah.
Laporan dari AgRural menyebutkan, proses panen biji kedelai di Brazil hingga pertengahan Februari mencapai 15 persen, atau naik dibandingkan minggu sebelumnya di level 9 persen. Jumlah tersebut merupakan persentase panen terendah selama bulan Februari dalam 10 tahun terakhir.
Selain itu, proses panen pada tahun ini juga tercatat anjlok 31 persen bila dibandingkan dengan hasil panen kedelai pada pertengahan Februari tahun lalu.
Laporan AgRural menyatakan, para produsen biji kedelai mempercepat proses panen untuk tanaman yang memiliki kelembaban tinggi pada musim 2020/2021. Pasalnya, kualitas biji kedelai dengan kelembaban tinggi akan kurang baik jika tidak dipanen lebih cepat.
Baca Juga
Adapun, AgRural memperkirakan total produksi biji kedelai Brazil untuk tahun ini berada di kisaran 131,7 juta ton, atau rekor produksi terbesar untuk negara tersebut. Meski demikian, proyeksi ini akan dikaji ulang pada pekan ini.
Cuaca buruk di Brazil juga mengakibatkan proses pengiriman biji kedelai terhambat. Pada pekan lalu, proses pengiriman biji kedelai ke pelabuhan-pelabuhan di Brazil terhalang oleh kemacetan sepanjang 18,6 mil yang merupakan imbas dari hujan besar di wilayah tersebut.
Analis Somar Meteorologia, Celso Oliveira mengatakan, curah hujan tinggi masih akan melanda kawasan utara dan tengah Brazil pada pekan ini. Hal tersebut berpotensi semakin menghambat proses distribusi biji kedelai dari pelabuhan Miritituba, di negara bagian Para.
“Hujan dengan intensitas besar juga akan terjadi pada pelabuhan di Santos dan Paranagua selama seminggu mulai dari 25 Februari besok,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Sementara itu, lambannya proses panen di Brazil berimbas positif pada biji kedelai dari Amerika Serikat. Data dari Departemen Agrikultur AS mencatat, total ekspor biji kedelai AS hingga 18 Februari adalah sebesar 721,8 ribu ton.
Dari jumlah tersebut, China menjadi importir terbesar biji kedelai AS sebanyak 155,9 ribu ton, disusul Belanda dengan impor sebesar 139,1 ribu ton, dan Mesir sebanyak 105,1 ribu ton.
Tingginya impor kedelai yang dilakukan China disebabkan oleh upaya pemerintah setempat untuk memulihkan industri peternakan yang terdampak flu babi Afrika beberapa waktu lalu. Para peternak di China menggunakan biji kedelai dan jagung sebagai salah satu pakan ternak.
Impor besar-besaran yang dilakukan oleh China juga berimbas pada pasar komoditas tanaman secara keseluruhan. Hal tersebut terlihat dari pengelola investasi global (hedge fund) yang berlomba-lomba memasang posisi bullish pada komoditas tanaman sehingga mencatatkan rekor posisi bullish terbesar dalam 1 dekade terakhir.
Analis Farm Futures Jacqueline Holland mengatakan, pelaku pasar masih mencerna kekhawatiran terhadap menipisnya pasokan biji kedelai dari AS. Hal ini terjadi seiring dengan tingginya ekspor yang dilakukan Negeri Paman Sam.
“Potensi penguatan harga lebih lanjut masih sangat terbuka, terutama untuk kontrak kedelai berjangka yang baru,” ujar Holland.