Bisnis.com, JAKARTA – Harga timah terus melanjutkan reli positifnya dan menembus level US$27.000 per ton. Kenaikan permintaan akibat pemulihan industri di China menjadi salah satu faktor pendorong.
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (22/2/2021), harga timah dengan kontrak tiga bulan terpantau naik hingga US$27.000 per ton pada London Metal Exchange (LME). Level harga ini merupakan yang tertinggi selama hampir satu dekade terakhir.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan kenaikan harga logam tidak terlepas dari aliran stimulus stimulus fiskal dan moneter yang dikeluarkan oleh negara-negara di dunia. Wahyu menjelaskan, paket stimulus tersebut akan berimbas pada kenaikan tingkat likuiditas global.
Aliran dana tersebut tidak hanya masuk pada pasar saham, tetapi juga ke aset-aset komoditas. Hal ini terutama terjadi pada aset logam dasar seperti tembaga dan timah yang menjadi salah satu bahan utama dalam pembuatan komponen sumber energi hijau.
“Dengan jumlah dana yang banyak, investor masih enggan masuk ke sektor industri riil,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (22/2/2021).
Wahyu memperkirakan, ruang penguatan harga timah saat ini sudah tidak banyak. Meski demikian, potensi penguatan lebih lanjut masih dapat terjadi sepanjang tahun ini.
Baca Juga
Ia memprediksi, harga timah berada di level US$26.000 hingga US$28.000 per ton dalam jangka pendek serta US$25.000 hingga US$33.500 per ton dalam jangka menengah.
Selain itu, menurutnya harga timah turut didukung oleh sentimen pandemi virus corona sejak tahun lalu. Pasalnya, di masa pandemi kebutuhan terhadap barang elektronik akan kian tinggi seiring dengan pemberlakukan bekerja dari rumah dan lockdown.
“Pemulihan ekonomi yang terjadi di China berimbas pada kenaikan permintaan timah seiring dengan kenaikan ekspor barang-barang elektronik,” paparnya.