Bisnis.com, JAKARTA - Harga nikel di proyeksi mampu kembali ke zona hijau dengan ruang penguatan yang cukup lebar untuk jangka panjang seiring dengan prospek pengetatan pasokan dan pemulihan permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (8/1/2021), harga nikel di bursa London parkir di level US$17.667 per ton, terkoreksi 2,44 persen. Pelemahan tersebut seiring dengan rebound indeks dolar AS.
Untuk diketahui, dolar AS yang lebih kuat cenderung akan membuat harga komoditas logam, termasuk nikel, melemah karena harga menjadi lebih mahal bagi pembeli dengan denominasi mata uang selain dolar AS.
Padahal, pada perdagangan sebelumnya nikel berhasil menyentuh level tertinggi sejak September 2019 di kisaran level US$18.000 per ton. Adapun, sepanjang tahun berjalan 2021 nikel telah bergerak menguat 6,31 persen. Pada 2020, harga nikel mencatatkan kenaikan hingga 16,23 persen.
Tim Analis Shanghai Metal Market mengatakan dalam risetnya bahwa dalam jangka pendek harga nikel berpotensi menguat menuju libur tahun baru Imlek. Menuju periode libur tahun baru tersebut umumnya akan membuat semua pabrik dan smelter mulai mengurangi kapasitas produksinya.Dengan demikian, produksi komoditas nikel dan turunannya diproyeksi lebih rendah sehingga pasokan pun dalam tekanan.
“Selain menjelang liburan Tahun Baru Imlek, kebangkitan kembali kasus Covid-19 di beberapa provinsi China juga akan mempengaruhi transportasi bahan baku dan bahan tambahan sehingga pasokan diyakini semakin terganggu,” tulis Tim Analis Shanghai Metal Market dikutip dari Bloomberg, Senin (11/1/2021).
Baca Juga
Analis ED&F Man Capital Markets Edward Meir mengatakan bahwa nikel dan tembaga menjadi salah satu logam dasar yang mendapatkan keuntungan paling banyak di tengah prospek pemulihan kondisi makro ekonomi global saat ini dan perkembangan ekonomi hijau.
Apalagi, setelah Kongres AS mengesahkan kemenangan presiden terpilih, Joe Biden, yang diyakini akan membuahkan banyak kebijakan ramah lingkungan, termasuk mendorong penetrasi kendaraan listrik.
Peningkatan penetrasi kendaraan listrik menjadi katalis positif bagi nikel karena komoditas itu merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik yang dinilai sangat efisien.
“Nikel dan tembaga adalah salah satu komoditas yang paling dimanfaatkan dari prospek makro saat ini, dan belum lagi secara jangka panjang harga nikel sangat didukung oleh penggunaannya sebagai baterai kendaraan listrik,” ujar Meir dikutip dari Bloomberg.
Adapun, BloombergNEF dalam risetnya memprediksi, penjualan kendaraan listrik di China pada 2021 meningkat menjadi 1,7 juta. Prediksi itu lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya yang diyakini hanya akan mencapai 1 juta.
Pemotongan subsidi, kemungkinan pemulihan ekonomi, dan perilisan model baru dinilai akan membuka jalan pertumbuhan pasar kendaraan listrik China pada 2021.
Semakin ramainya penjualan kendaraan listrik, akan mendorong naik harga nikel seiring dengan prospek permintaannya sebagai bahan baku juga akan meningkat.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan misinya untuk penghiliran industri nikel di tengah-tengah perayaan hari ulang tahun (HUT) PDI Perjuangan (PDIP) ke-48 pada Minggu (10/1/2021).
Presiden menyatakan ingin mengolah biji nikel menjadi baterai litium yang dapat digunakan untuk ponsel dan mobil listrik. Upaya itu menurutnya akan menciptakan puluhan ribu lapangan pekerjaan baru sekaligus berkontribusi kepada pengembangan energi masa depan.
Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia menguasai 30 persen produksi nikel secara global. Pihaknya menekankan cadangan nikel dalam negeri sebanyak 25 persen dibandingkan dengan cadangan dunia.
“25 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 21 juta ton sehingga Indonesia mengontrol hampir 30 persen produksi nikel global,” ujarnya.
Dia mengatakan Indonesia harus memasuki fase baru untuk menggunakan baterai litium sebagai komponen utama kendaraan listrik pada masa depan. Momentum itu menjadi kesempatan besar masuk ke dalam industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Berdasarkan catatan Bisnis,LG Chem Ltd. asal Korea Selatan melalui anak usaha, LG Energy Solution, telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Pemerintah Indonesia untuk membangun industri baterai kendaraan listrik di Indonesia dengan total investasi senilai US$9,8 miliar atau setara Rp142 triliun.
Dengan demikian, Indonesia akan segera memiliki industri baterai kendaraan listrik yang terintegrasi mulai dari pertambangan hingga pabrik litium.