Bisnis.com, JAKARTA - Permintaan minyak global berhasil rebound akibat tingginya konsumsi di Asia dan Amerika latin, ditambah dengan pemulihan di wilayah Eropa, serta sentimen positif di pasar Amerika Serikat.
Menurut indeks kompilasi Bloomberg yang melacak indikator frekuensi penggunaan jalan, dan lalu lintas di banyak negara, didapati sebanyak lebih dari 70 persen konsumsi minyak bumi global yang mengindikasikan permintaan bensin dan solar berakselerasi kembali.
Pergerakan harga minyak global pada pekan lalu menyentuh level tertingginya dalam dua bulan yang mencerminkan dampak lockdown akibat virus Covid-19 terbaru terhadap permintaan minyak global hampir usai.
Matriks penggunaan jalan turun 24 persen minggu lalu dibandingkan dengan tingkat pra pandemi. Angka tersebut menunjukkan peningkatan tajam dari pertengahan November ketika sempat jeblok 30 persen.
Konsumsi bensin dan solar di China, India, Jepang dan Brasil juga terpantau sudah kuat. Sementara, pengendara di kawasan Eropa sudah mulai turun ke jalan lagi setelah pemerintah melakukan pelonggaran lockdown nasional di Inggris, Spanyol, dan Prancis.
Menariknya, matriks jasa pengangkutan juga kini meningkat tajam karena banyak perusahaan menambah persediaan untuk musim natal dan akhir tahun.
Baca Juga
Kristian Kaas Mortensen, seorang eksekutif di Girteka Logistics, perusahaan jasa angkutan dengan armada sebanyak 7.000 truk di Eropa menegaskan bahwa Desember adalah rekor tersibuk..
Perusahaan bahkan harus menyewa truk tambahan karena armada kepemilikannya sudah dimanfaatkan sepenuhnya. “Semua truk kami sudah dalam volume penuh," katanya.
Kenaikan permintaan, bersamaan dengan arus dana yang masuk ke pasar komoditas membantu harga minyak mentah Brent terkerek di atas US$50 per barel pada perdagangan Kamis (10/12/2020) untuk pertama kalinya sejak Maret 2020.
Pemulihan harga minyak global akan memunculkan optimisme organisasi negara pengekspor minyak OPEC+ bahwa keberadaan vaksin yang bisa menahan penyebaran virus dapat membantu pemulihan konsumsi minyak bumi.
OPEC+ pada awal bulan ini menyetujui peningkatan output sebesar 500.000 barel per hari pada momentum tahun baru. Sementara itu, pertemuan akan kembali dilanjutkan pada 4 Januari 2021 dengan pembahasan peningkatan output pada bulan Februari.
Data penggunaan jalan juga menunjukkan pemulihan di kawasan Asia sebagai yang terkuat, disusul Eropa dan Amerika.
Sementara, permintaan bensin mendekati level sebelum Covid-19 di China, India dan Jepang. Keempat negara tersebut masuk dalam daftar empat konsumen minyak terbesar di dunia.
Indian Oil Corp, perusahaan penyuling minyak terbesar di India yang juga dikelola negara, optimis bahwa pemulihan permintaan minyak bumi sudah di depan mata.
“Kami melihat pemulihan cepat berbentuk V secara keseluruhan untuk konsumsi minyak bumi,” kata Kepala Indian Oil Corp., Shrikant Madhav Vaidya.
Optimisme Akhir Tahun
Berdasarkan data Bloomberg, Senin (14/12/2020), harga minyak WTI untuk kontrak Januari 2021 di bursa Nymex tergelincir 0,04 persen atau 0,21 poin ke level US$46,55 per barel.
Sementara itu, harga minyak Brent di bursa ICE untuk kontrak Februari 2021 stagnan di level US$49,97 per barel.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama menguat 0,17 persen atau 0,152 poin ke level 90.976.
Harga minyak global memang sempat tergelincir pada bulan lalu akibat penerapan lockdown di negara kawasan Eropa untuk menghentikan penyebaran virus Covid-19.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan harga minyak mentah masih bisa menguat ke level kisaran US$48-US$50 per barel pada akhir tahun.
“Persetujuan vaksin membantu mengerek naik harga minyak mentah karena kekhawatiran mereda dan pasar optimis terhadap pemulihan ekonomi bila vaksin berhasil didistribusikan,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (11/12/2020).
Menurutnya, berbagai stimulus yang dirilis pemerintah dan bank sentral baru-baru ini seperti stimulus fiskal Jepang dan stimulus moneter Bank sentral Eropa juga membantu meningkatkan optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi.
Dihubungi terpisah, analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan sentimen penghambat kenaikan harga minyak mentah disebabkan oleh isu pasokan dan kebijakan OPEC+ terkait produksi yang justru bertambah.
“Plus koreksi lawan dolar AS di saat dolar AS menguat terkait tarik ulur stimulus. Pun, harga US$40-an (untuk minyak mentah Brent dan WTI) memang overbought,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (11/12/2020).
Bagaimanapun, lanjutnya, nilai tukar dolar AS tidak sekuat tahun sebelumnya yang mana saat ini dolar AS lebih dibiarkan melemah terkonfirmasi oleh kebijakan bersejarah The Fed soal inflasi dari batas 2 persen menjadi target rata-rata.
Hal ini dianggapnya sebagai pelonggaran moneter karena inflasi dibiarkan naik tanpa harus menaikkan suku bunga sehingga dolar AS pun tidak bisa menguat signifikan.
Disebutkannya, harga minyak di masa depan akan dipengaruhi ekspektasi yang melibatkan persepsi pasar yang jika diprovokasi dengan ketakutan dan ketamakan akan membuat harganya tidak rasional.
Minyak dianggapnya memang masih terancam oleh permintaan fundamental terkait Covid-19 yang juga bisa membuat harga melemah lagi.
Tetapi, masalah teknis produksi dan pengeluaran modal perusahaan minyak dan ancaman defisit serta harapan vaksin bisa memicu sentimen positif harga minyak dalam jangka waktu menengah nantinya. Sehingga, hal ini bisa menahan kejatuhan harga minyak jangka pendek.
“Bahkan akhir tahun atau awal tahun nanti penguatan signifikan bisa terjadi dimana banyak investor sudah banyak bersiap mengantisipasi kenaikan harga,” tuturnya.
Dia memproyeksi penguatan harga minyak mentah hingga ke level US$50 hanya soal waktu. Sehingga, pada kuartal keempat, ia meramal harga minyak mentah akan berada di kisaran US$35-US$55 per barel.
Sementara, pada 2021, harga minyak diprediksikannya bisa melonjak lagi dengan kisaran harga US$30-US$80 per barel.
“Namun level harga US$40 akan menjadi level gravitasional jika minyak terbang kapan pun nantinya, Level harga US$40 ini baseline jangka panjang minyak,” tutupnya.