Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah emiten tetap optimistis kinerja masih bertumbuh meski ada penerapan kebijakan pungutan ekspor progresif untuk minyak sawit (CPO) dan turunannya mulai pekan depan.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan menetapkan pungutan ekspor CPO secara progresif atau melalui skema pungutan berdasarkan layer atau lapisan harga CPO yang berlaku mulai 10 Desember 2020.
Pungutan ekspor CPO ditetapkan senilai US$55 per ton ketika harga komoditas tersebut berada di bawah US$670 per ton. Besaran pungutan baru akan naik US$5 untuk kenaikan pada lapisan pertama lalu naik US$15 untuk setiap kenaikan harga CPO sebesar US$25 per ton.
Artinya, saat harga CPO berada di rentang US$670 sampai US$695 per ton, besaran pungutan menjadi US$60 per ton. Tetapi untuk lapis harga US$695 sampai US$720 per ton, maka besaran pungutan menjadi US$75 per ton.
Sekretaris Perusahaan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) Swasti Kartikaningtyas melihat pungutan ekspor progresif CPO yang berlaku pekan depan cukup adil, mengingat sebelumnya pemerintah telah memberikan relaksasi terhadap pelaku usaha ketika harga CPO tengah terkoreksi cukup dalam.
Dia juga menjelaskan bahwa pungutan itu tidak berdampak signifikan terhadap kinerja perseroan seiring dengan kontribusi ekspor emiten berkode saham SSMS itu terhadap kinerja hanya sekitar 17-20 persen.
Baca Juga
“Dengan adanya pungutan itu iya benar akan ada penambahan beban biaya tetapi tidak begitu signifikan, karena saat ini 80 persen penjualan perseroan telah diserap pasar domestik,” papar Swasti kepada Bisnis, Jumat (4/12/2020).
SVP Communications and Public Affair PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) Tofan Mahdi mengatakan bahwa tidak ada dampak signifikan terhadap kinerja perseroan terhadap regulasi tersebut.
Justru, perseroan mendukung penuh kebijakan tersebut. Pasalnya, regulasi itu akan mendukung industri sawit nasional mengingat dana pungutan tersebut akan digunakan kembali untuk beberapa program seperti peremajaan sawit masyarakat, riset, kampanye positif, hingga kegiatan mendukung mandatory biodiesel.
“Kami pasti akan mendukung kebijakan pemerintah untuk terus melaksanakan mandatory biodiesel ini, karena saat ini harga CPO ini tinggi pasti harga FAME nya tinggi juga jadi gap makin jauh dengan harga minyak mentah. Program biodiesel ini akan sangat baik untuk industri sawit,” ujar Tofan.
Tofan menjelaskan bahwa pasar ekspor Indonesia, terutama tujuan utama seperti China, semakin menunjukkan prospek yang lebih baik setelah melihatkan permintaan yang cukup baik sejak kuartal III/2020.
Dia berharap secara nasional tren itu akan bertahan hingga akhir tahun sehingga sinyal pemulihan pada tahun depan semakin nyata dan dapat semakin mengakselerasi kinerja perseroan.
Hingga kuartal III/2020, pasar tujuan ekspor AALI adalah India, China, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Korea, Kenya, dan Singapura.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT Mahkota Group Tbk. (MGRO) Elvi megatakan, perusahaan mendukung penyesuaian pungutan ekspor secara progresif oleh pemerintah. Menurutnya, kebijakan ini diperlukan untuk menjaga kesesimbangan dan stabilitas harga CPO dan tandan buah segar (TBS) pada level tertentu.
“Dengan adanya pengelolaan yang baik atas dana sawit yang berasal dari pungutan ekspor itu ke sektor hulu tentunya akan memberikan jaminan keberlanjutan dari ketersediaan bahan baku TBS untuk diolah dalam jangka panjang,” ujar Elvi.
Hingga saat ini, emiten berkode saham MGRO itu masih memiliki penjualan yang lebih besar di pasar lokal dibanding ekspor. MGRO berharap dalam terdukungnya program B30 dari pungutan itu nanti bisa lebih memperkuat penjualan domestik.