Bisnis.com, JAKARTA — Kendati daya tarik pasar saham semakin kuat seiring dengan pergerakan indeks yang mulai menanjak, investor disarankan untuk tak terburu-buru masuk kembali ke aset kelas berisiko tinggi tersebut.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) memang tengah dalam tren pemulihan sejak beberapa waktu terakhir. Bahkan, IHSG telah berhasil kembali melenggang di atas level 5.000.
Sebagai gambaran, per penutupan pasar Senin (26/10/2020) indeks komposit berada di level 5.144,04, jauh lebih baik dari posisi awal pandemi yang mana IHSG sempat menyentuh level terendah 3.937 pada 24 Maret 2020.
Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan di sisa dua bulan terakhir tahun ini investor sebenarnya tinggal menjaga tingkat return yang sudah dicapai dan jangan dulu terlalu agresif untuk memborong aset berbasis saham.
Pasalnya, dia menilai salah satu katalis yang menjadi pendorong kinerja indeks adalah harapan akan vaksin Covid-19 yang dikabarkan akan rampung dan dapat didistribusikan November mendatang.
“Kita sangat berharap vaksin ini optimal dan efektif dalam membuat kurva penderita Covid bisa menurun, dengan semangat itu itu memang pasar saham yang sudah mulai murah memang menarik,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Senin (26/10/2020)
Baca Juga
Namun, dia mengatakan agar investor jangan dulu terlena dengan ekspektasi tersebut karena ketidakpastian akan vaksin tersebut masih tinggi, ditambah saat ini semakin banyak emiten yang kesulitan likuiditas akibat terdampak pandemi.
Dia memasang target IHSG di level 5.500 hingga akhir tahun, dengan dengan asumsi vaksin sesuai rencana dan data ekonomi stabil. Sebaliknya jika vaksin terlambat yang berarti kondisi masyarakat saat ini akan berlangsung lebih lama, IHSG sangat mungkin terkoreksi lagi.
“Menurut saya kalau investor menunggu sampai kehadiran vaksin benar-benar ada juga belum terlambat sih seharusnya [untuk masuk ke aset berbasis saham],” imbuh Wawan.
Untuk saat ini, dia menyarankan investor lebih fokus pada instrumen yang memiliki imbal hasil lebih pasti seperti aset berbasis obligasi, terutama bagi investor dengan jangka waktu investasi yang pendek hingga menengah.
Menurutnya, investor tetap memasang strategi konservatif dengan dengan mengalokasikan 50 persen investasi ke aset berbasis obligasi, 30 persen ke pasar uang, dan sisanya 20 persen saham.
“Kalau untuk yang lebih agresif bisa 30 persennya saham, sisanya pasar uang, tapi tetap terbesar di obligasi,” jelasnya.
Dia menambahkan, skema ini sebaiknya tetap dipertahankan hingga tahun depan karena pemulihan ekonomi diprediksi tidak akan berjalan terlalu cepat, berkaca pada krisis-krisis yang terjadi sebelumnya.
Menurutnya, meski ada beberapa pandangan soal pertumbuhan ekonomi tahun depan tapi dia menilai tingkat pertumbuhan ekonomi belum akan kembali ke 5 persen seperti prapandemi.
“Mungkin baru bisa normal 2022 atau 2023. Tahun depan mungkin memang masa recovery tapi berat. Karena seperti itu, oke kalau mau masuk ke saham tapi harus liat sektornya yang benar-benar spesifik diuntungkan saat pemulihan,” pungkasnya.