Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan, Sidharta Utama mengingatkan pelaku usaha di bidang perdagangan berjangka komoditi untuk mewaspadai risiko kejahatan finansial saat pandemi Covid-19.
Imbauan ini kembali disampaikan berdasarkan pernyataan resmi Financial Action Task Force (FATF) yang dikeluarkan pada 14 April 2020.
Dalam pernyataan resminya, FATF menyampaikan mengenai standar penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
“FATF mendorong pemerintah seluruh negara anggota dan negara yang tergabung di dalam FATF Style Regional Bodies [FSRBs] bekerjasama dengan penyedia jasa keuangan [PJK] dan/atau aktivitas bisnis lainnya untuk menggunakan fleksibilitas pendekatan pengawasan berbasis risiko,” ujar Sidharta, dikutip dari keterangan resminya, Rabu (23/9/2020).
Menurutnya, hal itu merupakan langkah mengatasi dampak kejahatan finansial yang muncul akibat pandemi Covid-19 dan sebagai upaya mewaspadai munculnya risiko keuangan baru dan yang telah ada.
FATF telah mendukung penerapan proses transaksi finansial secara digital lintas negara (digital customer on boarding) dan saluran distribusi berbasis digital sebagai wujud dukungan terhadap kebijakan pembatasan jarak fisik (physical distancing).
Baca Juga
“Para pelaku usaha diharapkan tetap menerapkan standar FATF untuk mendorong transparansi yang lebih besar dalam transaksi keuangan. Penerapan standar FATF yang berkelanjutan dapat menciptakan integritas dan keamanan sistem pembayaran, khususnya pada saat pandemi Covid-19,” lanjut Sidharta.
Sidharta menjelaskan hal-hal lain yang perlu diperhatikan terkait pernyataan FATF. Pertama, pelaku usaha harus meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko kejahatan keuangan yang muncul akibat situasi pandemi Covid-19. Para pelaku kejahatan dapat mengambil keuntungan untuk melakukan penipuan baik secara luring maupun daring.
Beberapa contoh penipuan luring antara lain menjual obat-obatan palsu dan menawarkan investasi bodong. Sedangkan, kejahatan yang dapat dilakukan secara virtual atau daring, antara lain penggalangan dana palsu dan penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks) mengenai pandemi.
Kedua, kebijakan pembatasan fisik yang diterapkan di seluruh dunia membuat akses layanan perbankan dan keuangan menjadi lebih sulit. Penerapan layanan transaksi berbasis digital dapat membantu mengurangi risiko penyebaran virus serta mengelola permasalahan akibat Covid-19.
Untuk itu, FATF mengeluarkan rekomendasi penggunaan teknologi keuangan (financial technology/fintech), teknologi regulasi (regulatory technology/regtech), dan teknologi supervisor (supervisory technology/suptech).
Kemudian, FATF mengeluarkan dokumen “Guidance on Digital Identity (ID)” yang berguna menunjukkan manfaat digital ID untuk meningkatkan keamanan, kerahasiaan, dan kemudahan mengidentifikasi nasabah dari jarak jauh.
Digital ID juga dapat digunakan untuk meminimalisasi risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang diakibatkan pandemi Covid-19.
Ketiga, pentingnya organisasi nirlaba (nonprofit organization/NPO) untuk membantu menyalurkan obat-obatan dan menyediakan bantuan amal di seluruh dunia dalam menanggulangi Covid-19.
FATF telah bekerja sama dengan NPO dalam menyempurnakan standar untuk memastikan agar transaksi yang dilakukan melalui NPO tidak melanggar hukum (sah), transparan, dan dana yang diberikan sampai kepada penerima.
FATF mendorong negara- negara untuk bekerjasama hanya dengan NPO yang telah teruji kredibel dan transparan.