Pada Rabu sore 9 September saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan konferensi pers tentang PSBB total, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi 1,8%. Keesokan harinya IHSG mengalami koreksi lanjutan tajam 5%. Memaksa otoritas bursa melakukan suspensi perdagangan.
Berbagai kritik datang dari menteri dan anggota DPR atas pernyataan Gubernur Anies mengenai PSBB total tersebut dan dampaknya pada gejolak bursa saham. Bahkan ada anggota DPR yang menyatakan gejolak bursa dapat mengganggu kegiatan korporasi nasional.
Bagaimana sebenarnya peran indikator IHSG dalam kebijakan ekonomi nasional? Peran sebuah indikator ekonomi dan finansial dalam kebijakan ekonomi bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama, dokumen resmi perumusan kebijakan ekonomi nasional. Kedua, nilai empiris indikator tersebut dalam kegiatan ekonomi. Ketiga, aspek teoritis relevansi indikator untuk memahami dinamika ekonomi.
Dalam menilai peran IHSG dalam perumusan kebijakan ekonomi nasional, dapat diteliti dokumen resmi pemerintah seperti nota keuangan dan APBN, Undang-Undang No. 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Kerangka Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dari Bappenas.
Dalam nota keuangan dan APBN, target utama kebijakan fiskal adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi, dan pemerataan ekonomi. Dalam pembuatan APBN digunakan beberapa asumsi yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar, harga minyak, dan jumlah produksi (lifting) minyak dan gas. Dalam eksekusi kebijakan fiskal, karena pembiayaan defisit melalui efek bersifat utang maka dinamika suku bunga dan nilai kurs menjadi perhatian utama.
UU Bank Indonesia menyatakan bahwa “Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. Kestabilan nilai rupiah ini terdiri dari dua aspek. Pertama, kestabilan nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa atau inflasi. Kedua, kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain atau nilai kurs. BI menggunakan indikator seperti jumlah uang beredar, jumlah kredit, suku bunga, nilai tukar, dan cadangan devisa sebagai pemandu kebijakan moneter.
Dalam dokumen Transmisi Kebijakan Moneter dari BI memang disinggung harga aset seperti saham dan obligasi dapat mempengaruhi kekayaan masyarakat, sehingga berdampak pada kegiatan ekonomi. Namun untuk menjadikannya sebagai indikator kebijakan ekonomi makro, perlu dipertanyakan validitas teori dan empirisnya secara umum dan khususnya di Indonesia.
Dalam RPJMN IV 2020-2024, beberapa agenda pembangunan mencakup penguatan ketahanan ekonomi, pertumbuhan berkualitas, pemerataan pembangunan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, lingkungan hidup, stabilitas polhukam, dan transformasi pelayanan publik.
Semua dokumen resmi pemerintah tersebut tidak menggunakan IHSG sebagai indikator kebijakan ekonomi, baik dalam perumusan kebijakan maupun sebagai target kebijakan ekonomi.
Aspek empiris indikator finansial dapat dilihat dari sumber pendanaan usaha. Pendanaan usaha secara formal berasal dari lembaga keuangan, seperti bank dan pasar modal serta dapat berupa utang dan saham. Pendanaan usaha dengan utang berasal dari kredit perbankan dan penerbitan instrumen utang di bursa seperti obligasi dan medium term note.
Adapun pendanaan usaha dengan saham berupa penawaran umum perdana (IPO) dan penawaran umum terbatas kepada para pemegang saham dalam rangka hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue).
Pembiayaan baru melalui kredit perbankan dalam lima tahun terakhir (2015-2019) rata-rata tumbuh sekitar Rp385 triliun per tahun. Sementara itu emisi efek bersifat utang di pasar modal untuk periode yang sama (2015-2019) rata-rata mencapai Rp115 triliun per tahun.
Nilai emisi efek bersifat saham, baik IPO dan right issue, dalam periode 2015-2019 rata-rata hanya sekitar Rp65 triliun per tahun. Jadi pendanaan usaha berupa utang, dari perbankan dan pasar modal, sekitar 7,6 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pendanaan dari saham.
Pemerintah juga melakukan emisi Surat Berharga Negara (SBN) mencapai rata-rata Rp493 triliun per tahun sepanjang 2015-2019 di mana emisi SBN 2019 mencapai titik tertinggi baru yakni Rp690 triliun.
Dari empiris, ternyata pendanaan korporasi dengan utang lebih penting daripada pembiayaan melalui emisi saham di pasar modal. Bagi pemerintah, tentunya pembiayaan defisit APBN memang didominasi dari utang.
Akhirnya, secara studi teoritis dan empiris ternyata indikator dari pasar surat utang lebih baik dalam memprediksikan dinamika kegiatan ekonomi daripada indikator bursa saham. Temuan tersebut ada dalam studi Campbell R. Harvey, Forecasts of Economic Growth from the Bond and Stock Markets (1989). Studi terbaru dengan subyek yang sama dari McMillan (2019) juga mengkonfirmasi temuan Harvey tersebut.
Jauh sebelum ada studi tersebut, Paul Samuelson, ekonom beraliran Keynesian peraih Nobel Ekonomi dengan sinis menyatakan: “Wall Street indexes predicted nine out of the last five recessions! And its mistakes were beauties.” (Newsweek, September 1966).
Menariknya, saat IHSG bergejolak tinggi pada 9-10 September, indikator nilai kurs rupiah dan imbal hasil SBN relatif stabil masing-masing di sekitar Rp14.850 dan 7,0%.
Paparan diatas menujukkan bahwa indikator IHSG tidak relevan digunakan dalam perumusan kebijakan ekonomi nasional, baik secara formal tata kelola kebijakan, empiris, dan juga teoritis. Karena itu, pejabat negara dan anggota DPR tidak perlu berdebat tentang IHSG dan lebih baik menggunakan energinya untuk berusaha mengatasi penyebaran wabah Covid-19 dan dampaknya.