Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun tampak tidak terbanting sentimen Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana terjadi pada pasar saham.
Berdasarkan data Bloomberg, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun naik 0,96 persen menjadi 6,94 persen atau mampu bertahan di bawah 7 persen.
Imbal hasil SUN 10 tahun sempat menanjak hingga 8,37 persen pada 24 Maret 2020 ketika pandemi virus corona terkonfirmasi di Indonesia. Namun, pergerakan yield mulai stabil di bawah 7 persen sejak 22 Juli 2020.
Pengamat Pasar Modal Anil Kumar menyampaikan bahwa investor domestik sudah mendominasi pasar surat utang saat ini dengan kepemilikan investor asing tinggal 28 persen — 29 persen.
“Artinya, pergerakan apapun di dalam Indonesia sekarang korelasinya akan makin mengecil untuk imbal hasil meningkat,” kata Anil kepada Bisnis, Kamis (10/9/2020).
Pemberlakuan PSBB total lagi di ibukota negara diperkirakan membuat inflasi akan tetap atau malah cenderung turun yang tidak akan membahayakan obligasi.
Baca Juga
Selain itu, walaupun PSBB bisa menekan pertumbuhan ekonomi tetapi PSBB kali ini dinilai Anil berbeda dengan yang pertama karena masyarakat sebenarnya sudah lebih siap menghadapi virus dengan protokol kesehatan dan ketersediaan rumah sakit.
“Kalaupun ada perlambatan ekonomi, mungkin tidak separah yang terjadi di kuartal II/2020. Hari ini kita sudah jauh lebih tahu dan paham bagaimana terhindar dari virus ini,” imbuh Anil.
Untuk yield, Anil melihat kecenderungan untuk turun dari level saat ini masih terbuka. Adapun, spread atau selisih antara SUN 10 tahun dengan obligasi Treasury AS saat ini berkisar 10 kali lipat dan dibandingkan dengan inflasi posisi yield masih lebih tinggi 7 kali lipat.
Apabila mengeluarkan defisit neraca berjalan (CAD), Anil menunjukkan posisi yield wajar seharusnya berada di sekitar 5 persen dengan asumsi inflasi sebesar 2 persen—2,5 persen.
Dari sisi investor asing, menurut pantauan Anil saat ini investor asing masih overweight terhadap Indonesia. Adapun, aliran dana keluar dari pasar obligasi disebut lebih karena investor asing terpaksa ketimbang memang ingin keluar.
Pasalnya, tingkat pengangguran yang tinggi di dunia telah mendorong orang untuk menarik dana investasi khususnya dari negara-negara yang memiliki beta tinggi seperti Indonesia.
“Portofolio manajer investasi [asing] sendiri tetap overweight Indonesia kalau kita lihat dari data, mereka tetap bullish dengan Indonesia dibandingkan negara-negara emerging market lainnya,” ujar Anil.
Adapun, pasar obligasi Indonesia merupakan salah satu yang outperform dibandingkan pasar obligasi negara-negara dengan peringkat sama dan masalah CAD serupa seperti Brazil, Afrika Selatan, dan Turki.
Namun demikian, depresiasi rupiah tetap menjadi perhatian karena mata uang Garuda termasuk yang berperforma buruk kendati lebih baik dibandingkan peers tahun ini.
“Investor asing memang takut dengan pergerakan mata uang di negara berkembang terutama yang ada CAD. Tapi bukan berarti bearish, buktinya mereka tetap beli utang Indonesia dalam mata uang asing, gede pula,” tutur Anil.