Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencetak kenaikan hampir 1 persen selama pekan ini. Kinerja rupiah seiring tren pelemahan dolar yang mendarat di titik terendah dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup menguat 28 poin atau 0,19 persen pada Jumat (28/8/2020) ke posisi Rp14.632. Sepanjang pekan, rupiah bergerak di rentang Rp14.632 hingga Rp14.678 per dolar AS.
Dibandingkan dengan perdagangan pekan lalu yang berakhir 19 Agustus 2020, rupiah menguat 0,95 persen atau 141 poin. Oh ya, pekan lalu perdagangan hanya berlangsung dua hari karena ada dua hari libur nasional dan satu hari cuti bersama.
Direktur PT.TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan pelemahan indeks dolar. Indeks ini mengukur kekuatan mata uang Paman Sam terhadap sekeranjang mata uang utama dunia. Sekadar informasi, selain dolar ada lima mata uang utama dunia, yaitu euro, pound Inggris, yen Jepang, dolar Kanada, dan franc Swiss
Menurut Ibrahim, pergerakan rupiah pekan ini diwarnai beberapa kejadian mengejutkan. Pertama, arah kebijakan bank sentral AS atau The Federal Reserve yang menargetkan inflasi rata-rata 2 persen untuk memastikan pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Kedua, pasar merespon positif mengenai kabar bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe akan mengundurkan diri pada hari ini. Spekulasi akan pengunduran diri Abe sudah berhembus dalam beberapa pekan terakhir, dan semakin menguat belakangan ini.
Baca Juga
Pada perdagangan pekan depan, Ibrahim memperkirakan mata uang garuda masih akan berfluktuasi dan tidak menutup kemungkinan mengalami koreksi.
"Dalam perdagangan Senin depan (31/8/2020) kemungkinan masih akan berfluktuatif bisa saja ditutup stagnan atau melemah terbatas 20-30 point di level 14.620-14.670," tulisnya Ibrahim dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Sabtu (29/8/2020).
Sementara itu, dari dalam negeri pergerakan rupiah bisa dipengaruhi oleh perpanjangan masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal ini menurut Ibrahim bisa mengantarkan Indonesia ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2020 diperkirakan bakal kembali minus bila kegiatan ekonomi dan sosial masih dibatasi.
Di sisi lain, pemerintah berupaya sekuat tenaga agar kontraksi produk domestik bruto di kuartal II/2020 tidak berlanjut di kuartal III/2020. Pemerintah akan lebih agresif melakukan belanja negara dengan mengucurkan dana lebih besar lagi terutama di sektor UMKM dan dunia usaha atau koperasi sebesar Rp.180 Triliun.
Disamping itu terhentinya berbagai proyek investasi pada kuartal II menjadi pukulan berat untuk pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah kembali menggenjot proyek infrastruktur sepanjang tahun ini.
"Ini semua seyogyanya dikerjakan secara bersamaan dengan menarik investasi baik swasta maupun asing yang kemarin terhenti karena PSBB sekarang bisa realisasi lagi secara bertahap," tutur Ibrahim.