Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat imbal hasil (yield) obligasi Indonesia diproyeksi dapat turun hingga level 6,5 persen—6,8 persen di akhir tahun ini jika Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan.
Berdasarkan data Bloomberg, imbal hasil surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun Indonesia parkir di level 6,88 persen persen pada Jumat (7/8/2020). Sementara suku bunga acuan Bank Indonesia saat ini berada di level 4,00 persen.
Associate Direktur of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan pemangkasan kembali suku bunga acuan dapat memberikan ruang bagi yield atau imbal hasil obligasi untuk ikut turun.
Menurutnya, BI masih punya cukup ruang untuk kembali memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke level 3,75 persen karena tingkat inflasi Indonesia juga terus berada di level rendah.
Berdasarkan data BPS, inflasi pada Juli sebesar -0,1 persen month-to-month atau deflasi. Menjadikan tingkat inflasi sepanjang tahun berjalan atau year-to-date ada di level 0,98 persen, sedangkan secara year-on-year di level 1,54 persen.
“Kalau suku bunga turun, imbal hasil harus turun dan harga harus naik,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (9/8/2020).
Baca Juga
Sebaliknya, jika BI tak mememangkas kembali suku bunganya hingga akhir tahun, Nico memproyeksikan yield obligasi Indonesia akan berada di kisaran 6,8 persen—7 persen di akhir tahun nanti.
“Sebetulnya dengan posisi suku bunga saat ini pun harusnya yield bisa turun tapi yang terjadi di pasar nggak turun-turun karena ada tingkat risiko di sana,” terangnya.
Dia menjelaskan, krisis yang menerpa pasar keuangan tahun ini berbeda dengan krisis-krisis yang terjadi sebelumnya karena saat ini melibatkan pandemi Covid-19, yang sulit diprediksi perkembangannya.
“Tahun ini spesial, tidak bisa kita ukur mau sampai kapan dan seberapa besar stimulus yang harus dikeluarkan untuk menopang perekonomian,” imbuh dia.
Alhasil, terjadi kenaikan tingkat risiko di pasar keuangan, termasuk obligasi sehingga sebagai kompensasinya kupon tetap berada di level tinggi dan yield enggan untuk turun. Apalagi ditambah posisi Indonesia sebagai negara berkembang atau emerging market.
“Emerging market identik dengan high yield, karena artinya punya tingkat risiko yang lebih tinggi,” terang Nico.
Meski masih menawarkan imbal hasil tinggi, Nico menilai investor asing masih belum menunjukkan tanda-tanda kembali masuk ke pasar Indonesia, terlihat dari komposisi kepemilikan SBN oleh asing yang masih di bawah 30 persen.
Dia menilai kondisi ini tak hanya terjadi di pasar obligasi tetapi di pasar saham juga, yang mana investor asing membukukan aksi jual bersih atau net sell di mayoritas hari perdagangan.
Menurutnya, investor asing masih cenderung wait and see untuk melihat sejauh apa stimulus-stimulus yang digelontorkan dapat menopang perekonomian Indonesia, apalagi saat ini penyerapan dari stimulus yang dianggarkan masih minim.