Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi Indonesia diproyeksikan semakin bergeliat seiring dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang telah memangkas suku bunga acuan atau BI Rate ke level 5,50%.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan penurunan BI rate 25 basis poin ke level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 20—21 Mei 2025 akan berpotensi menurunkan yield surat utang negara (SUN).
"Kemudian, hal itu akan menimbulkan penurunan cost of fund [biaya dana] dalam penerbitan obligasi dan memacu korporasi atau penerbit mencari pembiayaan di pasar obligasi," ujar Ramdhan kepada Bisnis pada Kamis (22/5/2025).
Apalagi jika nilai tukar rupiah dapat terjaga dengan baik, maka pasar obligasi akan lebih likuid. Pelaku pasar pasar pun akan semakin percaya diri masuk ke pasar obligasi.
Meskipun, pasar obligasi tetap tak terlepas dari sentimen luar negeri yang membawa volatilitas tinggi. Kondisi global saat ini penuh dengan ketidakpastian seiring dengan kekhawatiran perang dagang menjadi ancaman untuk aliran modal masuk asing di pasar obligasi.
Kebijakan Presiden AS Donald Trump terkait tarif impor AS sempat memberikan tekanan terhadap yield pasar obligasi, terutama obligasi di negara berkembang. Setelah kebijakan tarif impor AS ditunda, dalam sebulan terakhir pasar obligasi cenderung stabil dan terjadi penguatan.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula menambahkan turunnya BI rate memberikan sentimen positif untuk pasar obligasi karena dapat menurunkan yield SUN.
"Apalagi statement BI mengindikasikan potensi diturunkan kembali suku bunga lagi ke depannya. Kami melihat ini sebagai peluang untuk imbal hasil SBN [surat berharga negara] mengalami tren penuruan," ujar Ezra kepada Bisnis pada Kamis (22/5/2025).
Head of IPOT Fund & Bond, Dody Mardiansyah menjelaskan bahwa penurunan suku bunga menciptakan peluang menarik di pasar obligasi, khususnya bagi investor yang sebelumnya menempatkan dananya di deposito.
Obligasi yang telah diterbitkan dan masih beredar di pasar sekunder umumnya menawarkan tingkat kupon tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi baru yang akan terbit.
“Ketika suku bunga turun, harga obligasi lama akan naik karena investor bersedia membayar lebih mahal untuk mendapatkan imbal hasil [yield] yang lebih tinggi dari kupon tetap tersebut. Hal ini terjadi sebagai bentuk penyesuaian pasar agar yield obligasi lama selaras dengan suku bunga acuan yang baru,” jelas Dody dalam keterangan tertulis.
Dia menambahkan, kondisi itu menjadi momentum strategis bagi investor deposito untuk beralih ke obligasi. Dengan bunga deposito yang cenderung turun mengikuti BI rate, banyak investor mulai melirik instrumen yang menawarkan potensi imbal hasil lebih tinggi seperti obligasi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks obligasi komposit Indonesia (ICBI) telah menguat 3,39% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak perdagangan perdana 2025, ke level 405,99 pada 30 April 2025. Yield SBN rata-rata turun 17,26 basis poin secara tahunan.
Per 30 April 2025 investor non-resident mencatatkan net buy Rp23,02 triliun ytd. Untuk pasar obligasi korporasi, investor non-resident mencatatkan net sell Rp1,42 triliun ytd.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.