Bisnis.com, JAKARTA — Saudi Aramco harus rela menjadi korban dari rendahnya harga minyak global. Laba perusahaan minyak milik Pemerintah Arab Saudi itu anjlok 73 persen pada kuartal II/2020.
Bloomberg melaporkan Minggu (9/8/2020), laba bersih turun menjadi 24,6 miliar riyal atau sekitar US$6,6 miliar pada periode tersebut, jauh di bawah realisasi kuartal II/2019, yang mencapai 92,6 miliar riyal.
"Penurunan laba terjadi sebagai dampak dari rendahnya harga minyak mentah dan turunnya marjin dari bisnis pengolahan dan kimia," papar Aramco dalam pernyataan resmi kepada Tadawul, bursa Arab Saudi.
Lockdown di banyak negara dalam rangka memutus penyebaran virus corona baru membuat aktivitas ekonomi global terhenti sementara, sehingga permintaan minyak pun menurun. Hal ini berdampak langsung terhadap kinerja Aramco.
Saham perusahaan sudah turun sekitar 7 persen tahun ini menjadi 32,95 riyal per Kamis (6/8). Meski demikian, posisi ini masih lebih tinggi ketimbang harga Initial Public Offering (IPO) Aramco pada Desember 2019, yang sebesar 32 riyal.
Pada penutupan perdagangan Jumat (7/8), harga minyak WTI kontrak September 2020 turun 1,74 persen atau 0,73 poin menjadi US$41,22 per barel. Adapun, harga minyak Brent kontrak Oktober 2020 terkoreksi 1,53 persen atau 0,69 poin menuju US$44,4 per barel.
Baca Juga
Harga minyak turun terseret kekhawatiran atas ketegangan baru AS-China serta belum jelasnya rencana stimulus terbaru AS.
Meski profit jatuh, tapi Aramco menyatakan bakal tetap memberikan dividen, yang nilainya menyentuh US$75 miliar secara tahunan. Pada kuartal II/2020, perusahaan ini akan membagikan dividen sebesar US$18,75 miliar, sebagian besar kepada Pemerintah Arab Saudi yang merupakan pemegang saham utama.
Setoran dividen dari Aramco menjadi hal yang penting bagi Riyadh, karena pemasukan utama kerajaan di Timur Tengah itu masih berasal dari minyak. Saat ini, sumbangan minyak terhadap pendapatan negara turun menjadi 33 persen.
Tahun ini, Arab Saudi diperkirakan mengalami defisit neraca hingga lebih dari 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di tengah pandemi Covid-19. Proyeksi yang disampaikan oleh IMF itu sekaligus akan menjadi defisit terbesar sejak 2016.