Sebelum berita tentang Covid-19 bermunculan, pasar saham pada Januari 2020 sudah mulai mengalami kelesuan seiring dengan pembenahan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan aparat hukum terkait kasus hukum PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun sekitar 5% dari 6.245 pada 20 Januari menjadi 5.940 pada akhir Januari. Tidak berhenti di situ, pasar saham global mengalami ‘crash’ pada minggu ketiga Februari dikarenakan kekhawatiran akibat mulai meluasnya wabah Covid-19 serta dampaknya terhadap ekonomi.
Pasar saham terus menurun dan pada waktu kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan 2 Maret, IHSG sudah turun sekitar 10% dari posisi akhir Januari. Pasar saham global terjun bebas dan mencapai titik terendah pada 24 Maret.
Kala itu, IHSG parkir di 3.937, turun drastis 26% dari posisi awal Maret. Di pasar valuta asing, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah signifikan dari Rp14.340 pada awal Maret menjadi Rp16.550 pada 24 Maret.
Lalu, bagaimana kinerja individu saham pada periode turbulensi tersebut?
Sebelum kita membahas hal tersebut, mari kita lihat tentang indeks. Bursa Efek Indonesia (BEI) mempunyai produk 34 indeks saham. Yang paling terkenal adalah IHSG, diluncurkan pada 1983, anggotanya adalah seluruh emiten di bursa efek.
Selain IHSG, yang juga banyak dijadikan referensi adalah indeks LQ45, diluncurkan pada 1997. Ada juga indeks BEI yang jumlah emitennya lebih selektif daripada LQ45 yaitu IDX-30, diluncurkan 8 tahun lalu pada 2012. Selanjutnya, pada Februari 2019, BEI meluncurkan IDX-80 yang jumlah emitennya lebih banyak.
Selain itu, masih ada berbagai indeks lain di BEI, seperti indeks saham Syariah dan indeks Bisnis-27.
Sesuai informasi di website BEI, indeks IDX-30, LQ45, dan IDX-80 adalah indeks yang mengukur kinerja harga dari saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik.
Dari definisi tersebut, terlihat bahwa penekanan pertama adalah kepada likuiditas saham, kemudian kepada besarnya kapitalisasi pasar, dan faktor ketiga barulah tentang kinerja fundamental. Perusahaan dana pensiun, asuransi dan reksa dana seringkali menggunakan indeks LQ45 sebagai benchmark alat ukur kinerja produk investasi mereka.
Investor kecil ada yang mengerti, tapi mungkin lebih banyak yang tidak mengerti mengenai kegunaan indeks. Namun, mereka biasanya ikut antusias membeli atau menjual saham emiten tertentu jika saham tersebut dimasukkan atau dikeluarkan dari indeks.
Bahkan, pada saat saham dijadikan jaminan utang, maka saham yang menjadi anggota indeks dianggap mempunyai fundamental yang kuat. Artinya, indeks yang dibuat oleh BEI haruslah kredibel dengan metodologi yang prudent.
Likuiditas perdagangan saham memang jadi faktor penting untuk indeks, asalkan perdagangan saham emiten tersebut wajar, bukan direkayasa. Demikian pula, sudah sepantasnya kenaikan kapitalisasi pasar menjadi faktor penting asalkan kenaikan harga sahamnya wajar, yaitu karena perbaikan kinerja perusahaan, bukan kenaikan harga saham yang juga direkayasa.
Ambil contoh pada Februari 2016. Saham PT Hanson International Tbk. (MYRX) dimasukkan ke dalam indeks LQ45. Mungkin hanya karena faktor likuiditas perdagangan dan harga saham nya (kapitalisasi) yang meningkat pesat pada periode 2013—2015. Demikian juga dengan saham PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) yang dimasukkan ke indeks LQ45 pada Februari 2018 yang mungkin hanya karena faktor kenaikan signifikan likuiditas dan harga saham tersebut pada periode tahun 2017.
Namun, pada Agustus 2018, kedua saham tersebut dikeluarkan dari indeks LQ45 oleh BEI. Ini keputusan yang tepat. Kita juga tahu bahwa pada 23 Januari 2020, dua saham tersebut bahkan dihentikan perdagangannya (suspend) oleh otoritas pasar modal karena terkait dengan kasus hukum Jiwasraya. Tampaknya, BEI mulai memberi bobot cukup besar pada faktor fundamental dalam penentuan indeks LQ45 dan IDX-30.
Pada masa pandemi ini, dari awal Januari ke 24 Maret, IHSG sempat turun 37%, bahkan LQ45 jatuh 45%. Tetapi, setelah berbagai bank sentral dan negara di dunia membuat stimulus ekonomi dan program penanganan sektor kesehatan, kepanikan mulai mereda. Rupiah menguat, yield surat berharga negara (SBN) membaik, dan indeks saham meningkat.
Adapun, setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai dilonggarkan, indeks pun meneruskan pemulihan. Per akhir Juni, penurunan IHSG menjadi 22% dan LQ45 25% dari posisi awal Januari.
Emiten Prudent
Pada masa pandemi ini, investor akan memilih emiten yang prudent dari sektor yang resilient. Pada periode Januari-Juni 2020, dari anggota LQ45, emiten perbankan yang penurunan harga sahamnya paling ‘dangkal’ adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang turun 13%, sedangkan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) anjlok 40%. Di samping itu, BBCA pun memiliki angka kredit bermasalah yang relatif kecil serta return on asset (ROA) yang paling tinggi di antara bank besar.
Sementara itu, lesunya daya beli berdampak kepada sektor properti. Contohnya yang terjadi pada PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE) yang harga sahamnya turun 42% dengan return on equity (ROE) hanya sekitar 10%. Sementara PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) harga sahamnya hanya turun 8% karena produknya tetap dibutuhkan pada masa pandemi dan memiliki ROE yang sangat tinggi, yakni di atas 100%.
Selain itu, aktivitas work from home (WFH) membuat kebutuhan akan jaringan komunikasi meningkat pesat. Saham sektor telekomunikasi cukup resilient. Hal itu bisa dilihat dari saham PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.(TLKM) yang turun 19%, sedangkan saham penyedia jasa menara telekomunikasi kinerjanya lebih baik, yaitu PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) yang hanya turun 10%.
Bahkan, PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) harga sahamnya mampu naik 23%. Adapun, TOWR memiliki gearing ratio yang rendah (net debt to ebitda 2,4 kali) dan ROE yang tinggi, yakni 27%.
Karena pandemi mungkin saja belum segera berakhir, maka investor yang prudent akan memilih perusahaan yang mampu bertahan menghadapi krisis ini. Kekuatan keuangan seperti gearing ratio yang rendah, cadangan kas yang cukup, tingginya ROE dan ROA, rating kredit, serta penerapan good corporate governance sebaiknya menjadi faktor utama dalam penentuan emiten dalam indeks di BEI.