Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menderita rugi bersih pada kuartal I/2020 seiring dengan pendapatan yang anjlok akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal I/2020, perseroan mengalami penurunan pendapatan sebesar 30,14 persen secara tahunan menjadi US$768,12 juta. Pendapatan amblas karena kontribusi utama pendapatan yaitu penerbangan berjadwal turun 29,23 persen secara tahunan menjadi US$654,52 juta.
Sementara itu, beban usaha hanya turun 9,92 persen secara tahunan menjadi US$945,70 miliar. Hal itu membuat laba usaha perseroan anjlok 98,75 persen secara tahunan menjadi US$616.040. Profitabilitas perseroan kian tertekan lantaran beban keuangan meningkat tajam dari US$20,69 juta menjadi US$150,65 juta.
Dengan performa tersebut, perseroan membukukan rugi periode berjalan senilai US$123,51 juta, berbalik dari posisi untung US$19,73 juta pada kuartal I/2019. Sementara itu, rugi bersih perseroan mencapai US$120,16 juta, berbalik dari posisi untung US$20,48 juta pada kuartal I/2019.
Dari sisi kewajiban, per akhir Maret, emiten berkode saham GIAA tersebut tercatat memiliki liabilitas sebesar US$8,64 miliar. Kewajiban ini terdiri dari liabilitas jangka panjang senilai US$3,67 miliar dan jangka pendek senilai US$4,96 miliar.
Posisi liabilitas perseroan membengkak 131,44 persen seiring dengan kenaikan liabilitas jangka panjang perseroan sebesar 940,71 persen menjadi US$4,96 miliar.
Baca Juga
Peningkatan itu terjadi akibat liabilitas sewa pembiayaan yang meningkat dari US$35.340 pada akhir 2019, menjadi US$3,98 miliar. Perseroan menjelaskan hal ini terjadi karena implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, 72, dan 73 per 1 Januari 2020
Adapun posisi ekuitas perseroan tergerus sekitar 30,5 persen dari posisi akhir 2019 menjadi US$500,8 juta. Adapun, nilai ekuitas aset perseroan mencapai US$9,14 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan bahwa selama pandemi Covid-19, pendapatan perseroan turun sekitar 90 persen dari periode normal. Hal ini juga membuat sekitar 70 persen armada pesawat milik tidak terbang atau grounded, dan karyawan, termasuk pilot dirumahkan sementara.
“Para analis industri penerbangan tampaknya [juga] sepakat bahwa pemulihannya hanya akan kembali pada akhir 2022. Jadi, kami mesti berhadapan dua setengah tahun lagi untuk situasinya membalik seperti sebelum Covid-19,” ujarnya dalam acara webinar Indonesia Brand Forum 2020, Rabu, (1/7/2020).
Dia menyatakan perseroan menyiapkan sejumlah strategi untuk bertahan di situasi sulit ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggenjot potensi pendapatan kargo, termasuk memanfaatkan pesawat penumpang.
“Saya tetap optimistis Garuda akan bangkit. Yang perlu dicatat, hingga sekarang Garuda tetap terbang. Dan hingga sekarang terus menunjukkan peningkatan,” ujarnya.
Dia juga menyatakan bahwa perseroan tetap optimistis karena Garuda Indonesia memiliki brand atau merek yang cukup baik di mata publik. Perseroan akan berupaya menjaga brand tersebut untuk memaksimalkan potensi pemulihan industri penerbangan ke depannya.