Bisnis.com, JAKARTA – Aluminium diperkirakan akan menjadi komoditas yang paling moncer pada kuartal III/2020 seiring dengan peningkatan yang terjadi pada mayoritas komoditas lainnya.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Suabi menyatakan bahwa di antara komoditas logam lainnya, aluminium memiliki peluang penguatan konsisten pada paruh kedua tahun ini.
Dia menyatakan sejumlah sentimen positif diperkirakan akan menjadi penopang penguatan harga komoditas tersebut. Salah satu pendorong utamanya adalah permintaan terkait pengembangan industri mobil listrik di dunia.
“Di antara bijih besi, tembaga, dan lain-lainnya, sekarang paling bagus aluminium, karena bersamaan dengan perkembangan industri mobil listrik, meski ada Covid-19, permintaan akan tetap tinggi,” katanya kepada Bisnis, Minggu (28/6/2020).
Selain itu, menurutnya langkah Amerika Serikat (AS) yang akan mengguyur stimulus senilai US$1,5 triliun juga akan mendongkrak harga komoditas tersebut. Faktor ini juga akan mendorong harga komoditas dasar lainnya.
Di sisi lain, permintaan terhadap aluminium juga akan terus meningkat dengan kebutuhan militer di sejumlah negara. Menurutnya, dengan tensi geopolitik yang belum reda, sejumlah negara akan meningkatkan manufaktur senjata dan pesawat berbahan dasar aluminium.
Baca Juga
“Artinya, kebutuhannya cukup besar, hal ini akan mengangkat sentimen positif terhadap aluminium, sehingga saya pikir harga yang masih akan stabil adalah alumunium,” katanya.
Dia menjelaskan penguatan harga aluminium akan terus meningkat meski dengan basis nilai lebih kecil. Dia memperkirakan dari harga sekitar US$1.600 per ton saat ini, aluminium akan dihargai pada kisaran US$1.800 per ton pada kuartal III/2020 dan meningkat hingga akhir tahun di kisaran US$2.000 per ton.
“Aluminium itu naiknya harganya tidak terlalu besar, tapi stabil, karena spekulasi tidak terlalu banyak. Karena spekulan banyak main di minyak emas dan CPO [crude palm oil],” katanya.
Selain aluminium, dia memperkirakan harga CPO dapat meningkat pada kuartal III/2020. Salah satu pendorong utamanya kebijakan Malaysia yang meninggalkan penguncian wilayah. Hal ini diperkirakan akan mendorong produksi CPO, seiring dengan meningkatnya kebutuhan di sejumlah negara.
Adapun, aset safe haven emas dan dolar diperkirakan tidak akan mampu menjaga kilaunya pada paruh kedua tahun ini. Optimisme pemulihan ekonomi pada periode tersebut akan membuat instrumen ini kehilangan daya tarik di mata investor.
Namun dalam jangka pendek dia menilai masih ada peluang penguatan untuk emas. Pasalnya, tensi geopolitik dan perang dagang akan membawa komoditas itu terus menguat.
Harga emas yang kini diperdagangkan pada kisaran US$1.780 per troy ounce diperkirakan akan menyentuh kisaran US$2.000 per troy ounce. Namun, setelah itu emas berpotensi kehilangan kilaunya.
Dia memperkirakan Presiden AS Donald Trump kemungkinan akan lebih berfokus kepada pemilihan umum di negara tersebut. Hal ini akan membuat perhatiannya terhadap perang dagang akan berkurang dan menjadi angin segar untuk ekonomi global. Sejalan dengan itu, maka harga emas akan menurun.
Di sisi lain, mata uang rupiah diperkirakan dapat terus menguat ke kisaran Rp13.700 per dolar AS. Faktor utama pendukung penguatan ini adalah kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang diperkirakan bakal membaik pada kuartal II/2020.
Dia memperkirakan Bank Indonesia akan memberikan dorongan kepada perbankan untuk gencar menyalurkan kredit pada paruh kedua tahun ini. Dengan demikian, dampak bauran stimulus dan kebijakan ekonomi yang sudah diberikan dapat segera dirasakan sektor riil.
Dia memperkirakan ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh di kisaran 3 persen pada tahun ini. Dengan skenario tersebut, peluang penguatan rupiah kian terbuka lebar.
Selain itu, dia menyatakan bahwa arus modal asing juga masih akan membanjiri pasar dalam negeri dan mendongkrak rupiah. Hal ini akan didukung oleh tingkat suku bunga dan imbal hasil obligasi di Indonesia yang masih cukup kompetitif.