Bisnis.com, JAKARTA – Raksasa produsen sepatu dan pakaian sport dunia, Nike Inc., membukukan kerugian dan penjualan yang mengecewakan akibat dampak pandemi virus corona (Covid-19).
Dilansir Bloomberg, pendapatan perusahaan anjlok 38 persen menjadi US$6,31 miliar pada kuartal keempat tahun fiskal, jauh di bawah US$7,38 miliar yang diperkirakan oleh para analis. Adapun, kerugiannya tercatat sebesar 51 sen per saham, berbanding terbalik dengan proyeksi laba sebesar 10 sen.
Hasil tersebut bertolak belakang dengan raihan pada awal tahun ini, ketika Nike mengalahkan ekspektasi analis Wall Street di tengah perjuangan yang dialami merek-merek lain.
Perusahaan kemudian menyatakan kepada para investor bahwa mereka siap menghadapi Covid-19 karena pengalamannya beroperasi di China selama periode awal wabah.
Seperti banyak merek dan peritel lain, Nike berinvestasi dalam platform-platform online untuk mengompensasikan toko-tokonya yang ditutup.
Tapi booming penjualan e-commerce, dengan pendapatan digital melonjak 75 persen pada kuartal lalu, ternyata tidak cukup untuk menebus kemerosotan yang dibuahkan dari penutupan toko-toko.
Baca Juga
Saham perusahaan anjlok 4,6 persen menjadi US$96,77 pada sesi after-hours trading. Sepanjang tahun ini, saham Nike telah naik kurang dari 1 persen. Koreksi yang dialaminya menyeret saham penjual sepatu lain, termasuk Skechers USA Inc., Under Armour Inc., dan Foot Locker Inc.
Sebagai upaya untuk mengurangi kekhawatiran tentang kemerosotan yang berkepanjangan, perusahaan mengatakan sekitar 90 persen dari toko-tokonya yang beroperasi secara global telah dibuka saat ini.
Perusahaan juga mengatakan penjualan untuk tahun fiskal ini, yang berlangsung hingga Mei mendatang, akan rebound pada paruh kedua atau mungkin membukukan kenaikan.
Namun, pengiriman ke pemborong Nike turun hampir 50 persen pada kuartal terakhir, sehingga merugikan penjualan dan menyebabkan tumpukan persediaan.
Marjin kotor Nike merosot 8,2 poin persentase menjadi 37,3 persen, meleset dari proyeksi analis sebesar 43,5. Ini adalah kinerja terburuknya sejak 1998, menurut data yang dianalisis oleh Bloomberg. Pukulan besar datang dari biaya yang lebih tinggi terkait dengan pembatalan pesanan dan gangguan rantai pasokan lainnya.
Sementara itu, perusahaan menghadapi masa depan yang tidak pasti karena kasus Covid-19 terus meningkat di banyak wilayah AS. Pada saat yang sama, beragam bentuk resesi terlihat di penjuru dunia, sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk pembelian produk seperti sneaker.