Kondisi Industri Keuangan: Stimulus OJK Buat Kinerja Lebih Baik

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah setidaknya telah mengeluarkan stimulus berupa bantuan sosial (bansos), restrukturisasi kredit, dan stimulus fiskal dengan menempatkan uang negara di bank umum yang diarahkan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Beragam stimulus yang diberikan pemerintah untuk menggerakan ekonomi di era kenormalan baru diyakini mampu menopang kinerja industri keuangan menjadi lebih baik.

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah setidaknya telah mengeluarkan stimulus berupa bantuan sosial (bansos), restrukturisasi kredit, dan stimulus fiskal dengan menempatkan uang negara di bank umum yang diarahkan untuk memulihkan perekonomian nasional.

Kapler A Marpaung, Dosen Program MM Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa jika berkaca dari beragam indikator keuangan, industi jasa keuangan masih sangat sehat. Beragam stimulus yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga ikut membantu rasio keuangan menjadi lebih baik.

“Perbankan misalnya CAR, dan NPL-nya masih baik, begitu juga leasing. Kemudian IKNB termasuk asuransi juga ada restrukturisasi sehingga rasio keuangan terbantu semua," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (25/6).

OJK sendiri memang mencatat restrukturisasi kredit telah dilakukan oleh industri jasa keuangan untuk membantu meringangkan beban debitur.

Kapler menuturkan, untuk asuransi indikator Risk Based Capital (RBC) juga menunjukkan masih sangat baik karena asetnya berada di atas liabilitas. Meski demikian, OJK perlu mengatur kebijakan terkait operasional jasa keuangan pada era kenormalan baru.

Protokol yang disiapkan OJK diharapkan memberikan ruang untuk IKNB bekerja secara lebih optimal. Adapun, OJK saat ini juga tengah menyiapkan protokol kesehatan bagi industri jasa keuangan pada era kenormalan baru.

“Artinya bisa beroperasi. Masalahnya apakah permintaan asuransi pra-Covid-19 dan era Covid-19 akan berbeda. Permintaan asuransi menurun, karena asuransi bergantung juga kepada pertumbuhan ekonomi dan industri lain,” jelasnya.

Terpisah, Irvan Rahardjo, Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), mengatakan bahwa potret industri keuangan nonbank (IKNB) sejauh ini masih sangat baik dan mampu bertahan karena aktivitas lebaran dan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB).

Ke depan, kinerja IKNB akan sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi, khususnya kuartal II dan III tahun ini. Alasannya, daya serap stimulus seperti relaksasi kredit pada sektor UMKM dan bansos masih sangat rendah karena kendala birokrasi.

Dengan proyeksi ekonomi yang melambat hingga akhir tahun, dikhawatirkan risiko pembiayaan akan meningkat. Pasalnya, restrukturisasi juga membutuhkan assessment, sementara UMKM atau pelaku usaha juga terpukul.

“Kuartal pertama pertumbuhan ekonomi 2,97%, kuartal II akan lebih melambat kecuali kuartal ketiga naik sedikit baru mungkin sampai akhir tahun maka NPF [non performing financing] bisa bertahan," ujarnya.

Irvan menambahkan, sektor asuransi sejauh ini masih cukup baik karena bisa mengumpulkan premi. Namun, kolektibilitas premi sedikit menurun lantaran banyak orang meminta penundaan premi untuk asuransi umum, sedangkan asuransi jiwa tetap meningkat meski terkendala kontak langsung seperti yang diminta OJK.

Dia menuturkan langkah pemerintah untuk menempatkan dana pada bank umum merupakan suatu langkah positif. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi butuh insentif fiskal guna mendorong ekonomi karena pada kuartal II/2020 pertumbuhan ekonomi tertolong oleh lebaran dan bansos.

“Setelah itu kami waspadai gelombang PHK bisa jadi masalah karena menekan daya beli dan membayar cicilan,” paparnya.
Sebagai gambaran, data OJK mencatat profil risiko lembaga jasa keuangan pada Mei 2020 masih terjaga pada level yang terkendali dengan rasio NPL gross sebesar 3,01% dan rasio NPF 3,99%.

Otoritas menyebutkan bahwa hingga 15 Juni 2020, stimulus restrukturisasi kredit yang dilakukan perbankan menyentuh angka Rp655,84 triliun untuk 6,27 juta debitur. Dari jumlah itu, nilai restrukturisasi untuk UMKM mencapai Rp298,86 triliun dari sekitar 5,17 juta debitur.

Sisanya, berasal dari non-UMKM dengan nilai restrukturisasi sebesar Rp356,98 triliun untuk 1,1 juta debitur.

Berdasarkan pemantauan data mingguan, OJK mengklaim terjadi perlambatan pertumbuhan nilai dan jumlah debitur.

Pada sisi perusahaan pembiayaaan, OJK mencatat hingga 16 Juni 2020 terdapat 183 perusahaan sudah melakukan restrukturisasi. Realisasinya, dari 4,15 juta jumlah kontrak permohonan restrukturisasi yang diterima perusahaan pembiayaan, terdapat 3,43 juta yang disetujui dengan nilai total mencapai Rp121,92 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper