Bisnis.com,JAKARTA — Kepercayaan investor untuk berinvestasi di instrumen surat utang korporasi berpotensi tergerus akibat kenaikan kasus penundaan pembayaran pokok dan kupon oleh penerbit.
Kasus tersebut kembali muncul setelah PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyampaikan dana pokok dan bunga ke-12 Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap III Tahun 2017 Seri B belum efektif di rekening KSEI sesuai waktu yang telah ditentukan.
KSEI mengumumkan pembayaran pokok dan bunga kepada pemegang obligasi melalui pemegang rekening yang seharusnya dilaksanakan pada, Senin (22/6/2020), dinyatakan ditunda.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyoroti kondisi likuiditas PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. (TELE) masih sangat tertekan seiring dengan penurunan pendapatan dan perputaran piutang yang lebih panjang akibat dampak dari pandemi Covid-19.
Pefindo menegaskan peringkat peringkat kredit idSD atau selective default untuk TELE. Di sisi lain, lembaga pemeringkat itu menurunkan peringkat Obligasi Berkelanjutan II Tahap II Tahun 2019 perseroan dari idCCC menjadi idD.
Beberapa waktu lalu, investor surat utang juga sempat dibuat geger dengan tertundanya pembayaran pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A yang sejatinya telah jatuh tempo pada 28 April 2020. Pokok MTN tersebut mencapai Rp200 miliar.
Baca Juga
Sempat tertunda, pembayaran untuk MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A akhirnya dilaporkan telah tersedia di rekening PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada, Jumat (8/5/2020).
Direktur Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Syafruddin mengungkapkan adanya peningkatan dari sisi jumlah data dan nilai penundaan pembayaran pokok dan/atau kupon surat utang.
Salah satu pemicu penundaan yakni kinerja obligor terpengaruh dampak pembatasan sosial akibat pandemi virus corona (Covid-19). Dia menambahkan, mayoritas seri surat utang yang tertunda pembayaran bunga atau pokok berasal dari penerbit yang sama.
“Artinya, memang kebetulan ada penerbit yang banyak surat utangnya jatuh tempo tahun ini,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (22/6/2020).
Direktur Rating Pefindo Vonny Widjaja menjelaskan bahwa dalam kasus TELE ada kemungkinan terjadi masalah dalam penurunan pendapatan. Di samping itu TELE kesulitan menagih piutang karena ada beberapa toko tutup terdampak Covid-19.
“TELE memiliki leverage keuangan yang tinggi dan likuiditas terbatas. Kebetulan juga surat utang atau utang jangka pendek besar sulit mendapatkan pembiayaan baru dari bank atau investor,” paparnya.
Vonny menjelaskan bahwa akan menurunkan peringkat kredit obligor yang berpotensi default menjadi non investment grade. Sejak Maret 2020, ada tiga emiten yang mengalami penurunan status selain beberapa emiten yang peringkatnya sudah non investment grade sebelum periode tersebut.
Dia menuturkan umumnya masalah yang dialami terkait likuiditas atau refinancing risk yang meningkat. Perusahaan belum memiliki dana yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban keuangan yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Kendati demikian, Vonny mengatakan jumlah emiten yang berpotensi diturunkan status peringkat kreditnya menjadi default masih relatif kecil. Pihaknya memperkirakan hanya 2 persen hingga 3 persen dari total sekitar 300 obligor yang menjadi portofolio Pefindo masuk ke dalam kategori tersebut.
“Dengan asumsi keadaan tidak memburuk dibandingkan dengan kuartal II/2020 atau dampak negatif Covid-19 tidak berkepanjangan. Sebagian dari perusahaan juga telah restrukturisasi pinjaman mereka di perbankan sehingga mengurangi tekanan pada cash flow perusahaan,” tuturnya.
Secara umum, Pefindo mencatat perusahaan di sektor pariwisata, transportasi dan infrastruktur, ritel dan restoran, konstruksi, properti, serta perusahaan pembiayaan khususnya micro finance rentan mengalami perubahan peringkat kredit akibat terpengaruh pandemi Covid-19.
Sebaliknya, obligor dari sektor makanan dan minuman, farmasi, serta telekomunikasi belum terkena dampak yang signifikan dari penyebaran virus corona.
Vonny mengatakan saat ini sebagian investor ada yang memilih untuk mengurangi investasi di surat utang korporasi. Pasalnya, ada kekhawatiran kinerja perusahaan akan terdampak negatif oleh Covid-19.
“Investor cenderung konservatif dengan memilih surat utang negara atau surat utang yang diterbitkan BUMN dan anak usaha BUMN. Kecenderungan investor juga lebih memilih investasi atau surat utang dengan tenor jangka pendek,” jelasnya.
Untuk menjaga kepercayaan investor, Pefindo mengharapkan emiten dapat mengusahakan pembayaran secara tepat waktu. Strategi yang dapat ditempuh dengan mencari alternatif sumber pembiayaan baik dari internal maupun eksternal.
“Bila memang ada kesulitan sebaiknya segera dilakukan langkah-langkah negosiasi atau restrukturisasi yang persetujuan atau kesepakatannya bisa dicapai sebelum surat utang jatuh tempo,” imbuhnya.
Di lain pihak, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan kasus gagal bayar sedikit banyak akan memberikan dampak terhadap pasar obligasi. Akan tetapi, fenomena itu menurutnya tidak serta merta menurunkan minat investor.
“Kami melihat tentunya minat obligasi masih akan banyak dan apalagi di tengah situasi volatilitas pasar yang semakin tinggi,” jelasnya.
Nico menyebut investor tidak dapat menilai surat utang hanya dari peringkat kredit. Akan tetapi, perlu dilakukan peninjauan secara keseluruhan terhadap aspek keuangan penerbit khususnya tingkat likuiditas dan rasio solvabilitas.
“Masih banyak investor yang hanya menilai obligasi hanya dari rating saja,” imbuhnya.