Bisnis.com, JAKARTA - Sejak diluncurkan beberapa waktu lalu, relaksasi berupa penundaan pembayaran cukai hasil tembakau (CHT) mulai banyak dimanfaatkan pabrikan.
Data Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) Kemenkeu yang dikutip Bisnis Selasa (19/5/2020), sampai 11 Mei 2020 menunjukkan 82 perusahaan telah mendapatkan penundaan pembayaran cukai selama 90 hari atau 3 bulan dengan total Rp12,79 triliun.
Jika dilihat berdasarkan golongan, secara nilai, kelompok atau pabrikan yang memperoleh penundaan pembayaran cukai paling banyak adalah pabrik golongan I yakni senilai Rp10,33 triliun, golongan II Rp2,45 triliun, dan golongan III hanya senilai Rp15 miliar.
Data soal golongan pabrik ini juga terkonfirmasi dari daftar 10 besar pabrik rokok yang memperoleh relaksasi tersebut. PT Gudang Garam Tbk., tercatat sebagai perusahaan dengan penundaan pembayaran cukai paling banyak. Nilai penundaan yang didapatkan oleh perusahaan berkode emiten GGRM ini mencapai Rp4,07 triliun.
Sementara itu, PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) menempati posisi kedua dengan nilai penundaan Rp3,37 triliun. Posisi penundaan cukai paling besar ketiga adalah PT Djarum. Perusahaan rokok terbesar di Jawa Tengah memperoleh penundaan pembayaran cukai senilai Rp1,7 triliun.
Selain tiga penguasa pasar rokok terbesar itu, penundaan juga didapatkan oleh Philip Morris Indonesia yang memperoleh penundaan senilai Rp361,4 miliar, Bentoel Prima Rp263,2 miliar, Tri Sakti Purwosari Makmur Rp207,4 miliar, Nojorono Tobacco International Rp206 miliar, Pabrik Rokok Sukun Rp149,6 miliar, dan PT Cakra Guna Cipta senilai Rp143,8 miliar.
Baca Juga
Adapun, di luar 9 perusahaan di atas, nilai penundaan pembayaran yang dicatat oleh otoritas senilai Rp1,59 triliun.
Seperti diketahui, dalam rangka menanggulangi penyebaran COVID-19 khususnya di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah menerbitkan berbagai kebijakan dalam bentuk fasilitas dan kemudahan bagi pelaku usaha dan masyarakat luas.
Salah satu kebijakan yang diterapkan yakni perpanjangan masa pembayaran pita cukai rokok dari sebelumnya dua bulan menjadi tiga bulan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan cash flow pabrik rokok.