Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga pemeringkat internasional, Moody’s Investors Service, menyematkan peringkat Baa2 dengan outlook negatif untuk surat utang global tanpa jaminan atau senior notes yang akan diterbitkan oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum.
Untuk diketahui, PT Inalum berencana menerbitkan obligasi yang hasil dananya akan digunakan untuk membiayai rencana akuisisi 20 persen hingga 25 persen saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), pembiayaan kembali utang PT Inalum dan anak perusahaannya, serta memperpanjang profil jatuh tempo utangnya.
Wakil Presiden dan Analis Senior Moody’s Investors Service Nidhi Dhruv mengatakan bahwa peringkat Baa2 terhadap senior notes yang diusulkan itu sejalan dengan peringkat perusahaan dan peringkat semua senior note tanpa jaminan yang dimiliki oleh PT Inalum.
Meski demikian, Nidhi memperkirakan kinerja keuangan PT Inalum yang lebih rendah di tengah melemahnya harga komoditas dan rencana akuisisi saham Vale Indonesia akan mendorong tingkat utang konsolidasi menjadi sekitar US$6,5 miliar dan akan terus naik hingga 2022.
Selain itu, leverage yang disesuaikan dengan laba bruto menjadi 8,0 kali pada 2020 dibandingkan dengan perolehan pada 2019 sebesar 6,2 kali.
“Leverage itu akan tetap meningkat pada level 8,0 kali - 8,5 kali hingga 2022, sampai PT Freeport Indonesia mulai membayar dividen yang akan meningkatkan EBITDA konsolidasi grup,” tulis Nidhi seperti dikutip dari keterangan resminya, Kamis (7/5/2020).
Baca Juga
Adapun, PT Inalum memiliki 51,2 persen dengan ekuitas manfaat terbatas sebesar 41,2 persen dari Freeport Indonesia, yang mengoperasikan tambang tembaga terbesar kedua di dunia dan tambang emas terbesar di Grasberg.
Namun, Freeport Indonesia diperkirakan baru akan memulai memberikan kontribusi dividen material terhadap PT Inalum pada 2022 hingga 2023 meskipun pengembangan tambang bawah tanah di Grasberg milik Freeport Indonesia itu telah mengalami kemajuan sesuai rencana.
Di sisi lain, meskipun tingkat utang PT Inalum akan meningkat, beban bunga tambahan dapat dibayarkan dengan menggunakan pembayaran dividen dari anak perusahaan batu bara PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) yang dimiliki perusahaan sekitar 66 persen.
Sementara itu, dividen dari anak perusahaan lainnya seperti PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. (ANTM) dan PT Timah (Persero) Tbk. (TINS), diperkirakan hanya berkontribusi relatif kecil karena kedua perusahaan lebih lemah secara finansial, sehingga tidak mungkin memberikan jumlah dividen yang berarti.