Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Moody's Pangkas Outlook, Inalum Tetap Pede

Inalum menilai akses terhadap pinjaman maupun penerbitan surat utang masih bagus di samping posisi kas masih solid.
Produksi aluminium ingot di PT Inalum Kuala Tanjung Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, Selasa (2/8)./Antara-Septianda Perdana
Produksi aluminium ingot di PT Inalum Kuala Tanjung Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, Selasa (2/8)./Antara-Septianda Perdana

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service menurunkan prospek atau outlook peringkat PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) karena tingkat leverage utang dan likuiditas yang dinilai lemah.

Moody’s mengubah outlook peringkat Inalum dari stabil menjadi negatif per Senin (13/4/2020). Sementara itu, peringkat yang disematkan tetap Baa2 untuk peringkat sebagai obligor dan surat utang senior tanpa jaminan perseroan.

Analis Senior dan VP Moody’s Nidhi Dhruv menyatakan bahwa outlook negatif yang disematkan merefleksikan proyeksi kinerja operasional Inalum dan anak usahanya akan tertekan pada tahun ini.

“Hal ini terutama disebabkan oleh kontraksi margin yang lebih rendah di tengah pelemahan harga komoditas dan perkiraan lemahnya kapasitas dan ekspansi hilir Inalum,” ujarnya dikutip dari laman resmi Moody’s, Kamis (16/4/2020).

Kinerja keuangan perseroan diperkirakan akan melemah seiring dengan rencana akuisisi 20 persen—25 persen saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO). Aksi korporasi ini diperkirakan akan mengerek utang ke level US$6,5 miliar, dan tingkat leverage meningkat menjadi 8x—8,5x dari posisi 6,2x pada 2019.

Perseroan diperkirakan masih bisa menahan beban bunga dari tambahan itu dengan mengandalkan setoran dividen dari anak usahanya, PT Bukit Asam Tbk. Perusahaan yang 65 persen sahamnya dipegang Inalum diperkirakan akan membagikan dividen dengan besaran 90 persen.

Inalum sebagai induk BUMN tambang atau MIND ID juga masih akan mendapatkan sokongan dana dari anak usaha lainnya, yakni PT Aneka tambang Tbk. dan PT Timah Tbk. Namun, kedua anak usaha ini memiliki skala bisnis yang lebih kecil dan lebih lemah secara kemampuan finansial.

“Inalum akan tetap diuntungkan dari diversifikasi portofolio tambangnya dari batu bara, emas, nikel, timah, tembaga, dan alumunium dan operasinya yang kompetitif secara global,” ujarnya.

Peringkat yang disematkan juga merefleksikan 51,2 persen kepemilikannya di PT Freeport Indonesia (PTFI) yang mengelola tambang Grasberg. 

Pengembangan tambang bawah tanah di Grasberg yang masih berjalan diharapkan memberi dampak positif pada Inalum. Namun, diperkirakan kontribusi dividen dari Freeport baru akan dirasakan Inalum pada periode 2022—2023.

Persoalan tambahan yang menjadi faktor penurunan outlook Inalum adalah kondisi lemahnya likuiditas. Hal ini diikuti dengan posisi kas perseroan yang tidak akan mencukupi kebutuhan belanja modal perseroan dan anak usaha.

Di sisi lain, perseroan memiliki utang yang akan jatuh tempo sebesar US$1 miliar dalam 12—18 bulan ke depan. Meski begitu, diperkirakan Inalum akan tetap memiliki akses pendanaan dari bank maupun pasar obligasi untuk melunasi refinancing utang-utang tersebut.

Dihubungi terpisah, SVP Corporate Secretary Inalum Rendi Witular mengatakan meski outlook dipangkas, pihaknya menilai peringkat investasi Baa2 masih mencerminkan kepercayaan agensi pemeringkat tersebut kepada perseroan.

Dia mengatakan bahwa kinerja 2019 yang melemah memang sudah diprediksi sebelumnya seiring dengan melemahnya harga komoditas. Di sisi lain, proyek strategis untuk hilirisasi produksi juga belum rampung pada tahun lalu.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa perseroan optimistis kinerja perseroan akan membaik pada tahun depan. Salah satu pendorongnya adalah dimulainya pembayaran dividen dari Freeport.

“Kinerja akan menanjak di 2021 seiring dengan mulai dibayarkannya dividen PTFI setelah produksi mereka kembali normal dengan selesainya peralihan dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah,” jelasnya.

Dia juga mengklaim bahwa secara holding MIND ID, posisi kas masih solid, mencapai lebih dari Rp20 triliun. Perseroan juga masih mencatatkan EBITDA Rp10,4 triliun pada tahun lalu.

Dia meyakini hal ini akan menjadi modal perseroan untuk mengelola utang dengan baik. Terlebih, dia mengatakan Inalum memiliki akses yang baik ke pasar finansial jika dibutuhkan untuk refinancing.

“Akses ke perbankan dan bond market kami masih bagus,. Selain itu portofolio komoditi kita yang beragam mulai dari emas, batubara, nikel, timah, alumunium, bauksit, feronikel, tembaga, merupakan material-material primer yang dibutuhkan dunia, baik di masa kini dan masa depan,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper