Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. sedang mengajukan pinjaman kepada bank pelat merah dan bank dari Timur Tengah untuk melunasi pinjaman jangka pendek yang akan jatuh tempo pada tahun ini, termasuk surat utang senilai US$489,99 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengkonfirmasi hal itu menjadi salah satu opsi yang sedang dijajaki perseroan. Meski begitu, dia menekankan belum ada plihan pasti yang telah diambil untuk melunasi utang tersebut.
“Tentu saja iya [pembicaraan dengan bank pelat merah dan bank dari Timur Tengah], itu salah satu opsi,” katanya kepada Bisnis, Minggu (26/4/2020).
Berdasarkan laporan keuangan 2019, perseroan tercatat memiliki total pinjaman jangka pendek senilai US$3,25 miliar. Irfan menegaskan perseroan masih membuka semua opsi yang tersedia untuk pelunasan utang-utang tersebut.
Dia juga masih enggan menyebutkan bank mana saja yang akan menjadi pemberi pinjaman tersebut serta berapa jumlah pinjaman yang akan ditarik.
“Belum final jadi belum bisa kami informasikan, nanti akan kami kabari. Masih rahasia.” ujarnya.
Baca Juga
Dari jumlah utang itu, perseroan memiliki US$984,85 pinjaman bank yang terdiri dari pinjaman bank kepada pihak ketiga senilai US$444,75 juta serta pinjaman kepada bank berelasi atau bank badan usaha milik negara (BUMN) senilai US$540,09 juta.
Sebelumnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. menyatakan memang telah melakukan pembicaraan dengan pihak maskapai pelat merah itu. Namun, kedua bank tersebut masih belum merinci seperti apa kesepakatan yang sedang dijajaki.
Perseroan juga memiliki utang obligasi dari penerbitan Trust Certificates tidak dijamin sebesar US$500 juta dengan nama Garuda Indonesia Global Suku Limited. Surat utang ini akan jatuh tempo pada 3 Juni 2020. Per 31 Desember 2019, saldo utang obligasi mencapai US$498,99 juta.
Di tengah kejaran utang jangka pendek itu, perseroan mulai memasuki periode bisnis yang cukup berat pada tahun ini. Pandemi Covid-19 menjadi faktor utama penurunan aktivitas penerbangan maskapai pelat merah itu pada 2020.
Hal ini akan bertambah pelik dengan adanya larangan mudik yang diberlakukan pemerintah yang diberlakukan sejak 24 April 2020. Penerbangan ke area yang berstatus pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberhentikan untuk sementara waktu.
Emiten berkode saham GIAA itu memiliki delapan wilayah PSBB yang termasuk dalam layanan operasional penerbangan perseroan, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Pekanbaru, Makassar, Sumatera Barat, Banjarmasin, dan Tarakan. Di luar sejumlah rute ke daerah itu, penerbangan masih akan dilakukan secara normal.
Padahal periode ramadan dan Lebaran biasanya menjadi high season bagi industri penerbangan untuk mendongkrak pendapatan. Perseroan juga memperkirakan, jika virus corona tak kunjung mereda, kemungkinan terburuk lainnya adalah tidak ada penerbangan haji pada tahun ini.
Perseroan menyatakan hingga tiga bulan pertama 2020 saja, pendapatan operasional perseroan sudah mengalami penurunan sekitar 33 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi itu utamanya disebabkan oleh penurunan pendapatan penumpang yang berkontribusi terhadap total pendapatan usaha lebih dari 80 persen.
Irfan menyatakan pihaknya akan mengikuti arahan dari pemerintah terkait pembatasan penerbangan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Dalam kondisi ini, perseroan menyiapkan strategi untuk berfokus pada penerbangan kargo.
“Sejauh ini drop banyak revenue-nya kami. Ke depan kami akan fokus ke penerbangan kargo dan akan melakukan refund dengan voucher [untuk pembatalan penerbangan],” katanya.
Sepanjang kuartal I/2019, perseroan membukukan pendapatan laba usaha sebesar US$49,47 juta, adapun hingga kuartal II/2019, pendapatan meningkat menjadi US$81,98 juta. Dengan perkiraan 33 persen penurunan, maka laba usaha pada kuartal I/2020 diperkirakan mencapai US$33,14 juta.
Adapun, sepanjang 2019, perseroan membukukan laba bersih senilai US$6,98 juta, berbalik untung setelah merugi US$231,15 juta pada 2018. Total pendapatan usaha perseroan pada 2019, mencapai US$4,57 miliar, ditopang oleh pendapatan penerbangan berjadwal senilai US$3,77 miliar.