Bisnis.com, JAKARTA - Tidak ada yang menyangka setelah pecah kongsi dengan Rusia, kini kelompok negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC mencoba menggandeng Texas sebagai produsen minyak terbesar AS untuk menyeimbangkan pasar minyak dunia
Untuk diketahui, pertemuan dua pihak itu jarang terjadi. Terakhir berlangsung yaitu pada 1988, ketika harga minyak juga anjlok dan mengancam masa depan industri minyak AS. Kali ini, Komisaris otoritas industri minyak dan gas Texas Railroad Ryan Sitton diundang untuk menghadiri pertemuan OPEC pada Juni di Vienna, pertama kali dalam 32 tahun terakhir.
Oleh karena itu, krisis dalam industri minyak saat ini dinilai begitu buruk sehingga regulator Texas pun mempertimbangkan untuk berkoordinasi dengan OPEC untuk membatasi produksinya agar harga minyak global dapat terselamatkan dari level terendahnya sejak 17 tahun lalu.
Bagaimana tidak, di tengah sentimen perlambatan permintaan akibat semakin parahnya penyebaran virus corona atau Covid-19 yang membuat hampir seluruh dunia membatasi perjalanan, Arab Saudi dan Rusia gagal membuat kesepakatan pemangkasan produksi sehingga memicu perang harga.
Akibatnya, harga minyak pun anjlok ke bawah level US$30 per barel, terendah sejak 2003 dan terkoreksi hingga 63,02 persen sepanjang tahun berjalan 2020.
Ryan Sitton mengatakan bahwa harga minyak mentah saat ini jauh di bawah harga yang dibutuhkan produsen minyak serpih AS untuk melakukan lifting minyak sehingga banyak perusahaan minyak Texas berpotensi mencatatkan kerugian pada tahun ini.
Baca Juga
Bahkan, Ryan mengatakan industri minyak di Texas telah merumahkan puluhan ribu pekerja akibat harga yang rendah dan sepinya permintaan minyak.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir ketika hubungan OPEC-Rusia masih hangat dan tengah memangkas kapasitas produksinya untuk menstabilkan harga, industri minyak serpih AS seperti tutup telinga dan terus menggenjot produksinya.
Walaupun keputusan Texas masih menjadi teka-teki, sentimen itu bagaikan sebuah oasis bagi pasar minyak di tengah terbatasnya sentimen positif bagi harga minyak global. Pasalnya, jika kedua pihak tersebut berhasil sepakat, maka dapat menahan laju lonjakan pasokan yang masuk ke pasar di tengah lemahnya permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (23/3/2020) hingga pukul 14.35 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak April 2020 di bursa Nymex bergerak menguat 1,33 persen atau 0,3 poin ke level US$22,94 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent di bursa ICE untuk kontrak Mei 2020 masih bergerak di zona merah, turun 2,48 persen menjadi US$26,31 per barel.
Kepala Strategi Pasar Asia Axicorp Ltd Stephen Innes mengatakan bahwa harga minyak global bisa mencapai US$10 per barel hingga US$15 per barel dengan sangat cepat jika OPEC dan Texas tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemangkasan produksi.
“Setiap pedagang minyak saat ini mungkin sedang panas dingin menatap pergerakan harga minyak saat ini,” ujar Stephen seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (23/3/2020).
Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan dalam publikasi risetnya bahwa industri minyak AS yang mulai tidak secemerlang sebelumnya dan mulai menunjukkan penurunan aktivitas rig, menjadi katalis positif bagi harga minyak.
Tidak bisa dipungkiri, selama ini AS menjadi salah satu faktor penurunan harga minyak global karena terus memenuhi pasokan minyak global di saat permintaan dalam tekanan.
Oleh karena itu, rencana pemangkasan produksi lebih lanjut oleh AS seiring dengan rencana kesepakatan bersama OPEC, menjadi katalis yang sangat positif bagi harga minyak mentah dunia.
“Untuk sisi atasnya, level resisten terdekat berada di US$24 per barel. Menembus ke atas dari level tersebut berpeluang memicu kenaikan lanjutan ke US$25 per barel sebelum membidik resisten kuat di US$27 per barel,” ujar Faisyal seperti dikutip dari publikasi risetnya, Senin (23/3/2020).
Namun, lanjut Faisyal, jika bergerak turun, level support terdekat berada di US$22 per barel dan menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu penurunan lanjutan ke US$21 per barel sebelum membidik support kuat di US$19 per barel.
Di sisi lain, Faisyal juga menjelaskan bahwa kongsi antara OPEC dan Texas masih berpotensi gagal karena rencana pertemuan Ryan Sitton dengan OPEC di Vienna disambut kritik dari sesama regulator dan pengebor.
Beberapa produsen minyak serpih AS menilai kesepakatan dengan OPEC untuk memangkas produksi bukanlah solusi yang praktis dan dapat menolong industri minyak AS secara signifikan.
Kendati demikian, Analis Goldman Sachs Group Inc. Damien Courvalin mengatakan, kemungkinan harga minyak mentah dunia akan terus jatuh jika angka produksi minyak global tetap tinggi dan jumlah serapan minyak kecil.
Dia menilai hingga akhirnya salah satu produsen minyak dunia berhenti memproduksi, pada saat itulah minyak akan berhenti berada di jalur penurunannya.
Prospek permintaan juga semakin suram dengan lebih banyak negara yang melakukan lockdown (penguncian wilayah) guna mengatasi pandemi virus corona. Sebagian pedagang melihat permintaan minyak mentah akan turun sebanyak 10 hingga 20 juta barel per hari.
Lalu akankah Texas akhirnya mengambil keputusan menjadi sahabat baru OPEC untuk memangkas produksi minyak dan menjadi pahlawan untuk membatasi penurunan harga minyak? Kita lihat saja.