Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS kembali ke jalur penguatannya mendorong mata uang pasar berkembang memperpanjang pelemahannya karena investor masih melakukan aksi borong greenback di tengah kekhawatiran bahwa pandemi corona atau COVID-19 akan membuat ekonomi global dalam tekanan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (23/3/2020) hingga pukul 10.58 WIB, pelemahan mata uang Asia dipimpin oleh rupiah yang terkoreksi 3,7 persen menjadi Rp16.550 per dolar AS, disusul oleh won yang melemah 2,56 persen menjadi 1.277,53 won per dolar AS.
Adapun, rupiah saat ini berada di level terendahnya sejak krisis keuangan 1998 dan hanya berjarak 100 poin untuk menuju level terendahnya sepanjang sejarah.
Pergerakan Mata Uang di Asia hingga pukul 10.58 WIB
Sumber: Bloomberg, 2020.
Dua mata uang tersebut merupakan yang paling sensitif terhadap sentimen pertumbuhan global. Pelemahan nilai tukar itu juga seiring dengan kedua negara yang semakin intensif membatasi perjalanan dan memaksa masyarakatnya mengisolasi diri untuk menekan penyebaran virus corona.
Sementara itu, ringgit menurun 1,14 persen dan baht melemah 1,01 persen terhadap dolar AS setelah S&P memperingatkan pandemi corona dapat merugikan ekomoi wilayah Asia Pasifik hingga US$620 miliar.
Dalam perdagangan yang sama, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama berada di posisi 102,291, level tertingginya sejak Desember 2016.
Padahal pada perdagangan Jumat (20/3/2020), dolar AS berhasil melemah signifikan dan membuat beberapa aset berisiko lainnya sempat menguat.
Penguatan dolar AS juga tercermin dari pergerakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdor. Kurs ini merupakan referensi mata uang rupiah terhadap dolar AS yang disusun berdasarkan kurs transaksi valuta asing terhadap rupiah antarbank di pasar domestik.
Berdasarkan data Bank Indonesia, hari ini, Senin (23/3/2020, kurs Jisdor bertengger di posisi Rp16.608 per dolar AS, tertinggi dalam periode tahun berjalan. Kurs Jisdor naik tajam sejak 13 Maret 2020 lalu.
Kepala Strategi Asia SEB AB Singapura Eugenia Victorino mengatakan bahwa seiring dengan upaya dunia membatasi penyebaran virus corona, sebagian besar aset investasi dijual untuk mencari lebih banyak greenback masih terjadi di pasar.
“Ekonomi Korea jelas berada di garis depan pelemahan, tetapi aset Indonesia dan India kini semakin berisiko,” ujar Eugenia seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (23/3/2020).
Senada, Ahli Strategi Valuta Asing Senior Malayan Banking Bhd Christopher Wong mengatakan bahwa dolar AS saat ini menjadi aset safe haven karena pasar terus mencerna implikasi dari hilangnya banyak lapangan pekerjaan dan penurunan ekonomi yang berkepanjangan akibat sentimen ini.
“Rentan terhadap arus modal keluar menghantui pasar berkembang, tekanan jual aset semakin parah,” ujar Christopher.
Di sisi lain, Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa prospek pelemahan rupiah masih terbuka, baik secara teknikal maupun fundamental.
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, masih bergelut dengan wabah corona dan sebagian melakukan lockdown sehingga aktivitas ekonomi pun terganggu yang berpotensi memicu perlambatan ekonomi.
Namun demikian, kabar baik yang bisa memberikan sentimen positif bagi aset berisiko termasuk rupiah, datang dari China yang berhasil menurunkan secara drastis penyebaran virus corona dan aktivitas ekonominya mulai naik lagi.
“Meski rupiah dalam tekanan, ekonomi China yang aktif kembali bisa membantu menggerakkan ekonomi negara partnernya termasuk Indonesia dan menopang penguatan rupiah,” ujar Ariston saat dihubungi Bisnis.com