Bisnis.com, JAKARTA – Emiten perkebunan PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) tidak melakukan hedging atau perlindungan nilai meskipun nilai tukar rupiah sudah mencapai Rp15.000 per dolar AS.
Direktur Keuangan Dharma Satya Nusantara Jenti mengatakan perseron tidak mengambil langkah perlindungan nilai untuk mengamankan utang berdenominasi dolar. Menurutnya, kewajiban dalam mata uang Paman Sam itu tidak terlalu besar.
“Utang dollar kami kurang dari 20 persen yang dimiliki oleh anak perusahaan yang bergerak di produk kayu. Karena penerimaan anak perusahaan tersebut juga dalam dolar, kami tidak melakukan hedging khusus karena sudah natural hedging,” katanya kepada Bisnis.com pada Rabu (19/3).
Berdasarkan laporan keuangan September 2019, DSNG memiliki fasilitas kredit dari PT Bank Central Asia Tbk. senilai US$26,63 juta dengan kupon bunga 1,75 persen sampai 4,50 persen. Selain itu, perseroan juga tercatat utang usaha pihak ketiga berdenominasi dollar sebesar Rp27,38 miliar.
Meski demikian Jenti optimistis bisa melunasi kewajiban. Selain itu, dia juga menambahkan kalau harga crude palm oil bakal merangkak naik setelah Malaysia mengumumkan penguncian atau lockdown. Jenti berpendapat stok minyak sawit yang beredar akan sedikit dan menyebabkan harga naik.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (18/3/2020) hingga pukul 14.56 WIB, harga CPO untuk kontrak Juni 2020 di bursa Malaysia bergerak menguat hingga 1,16 persen menjadi 2.275 ringgit per ton, melanjutkan penguatan dari perdagangan sebelumnya.
Baca Juga
Penguatan itu cukup memperbaiki kinerja pergerakan harga CPO sepanjang tahun berjalan 2020 yang telah terkoreksi hingga 22,46 persen.
Kepala Penelitian Agribisnis Regional CIMB Ivy Ng mengatakan bahwa pasokan CPO Malaysia akan berkurang sekitar 708.500 ton jika perkebunan tidak diizinkan beroperasi, dan stok di Negeri Jiran itu akan turun menjadi 1 juta ton pada akhir Maret.
“Keputusan pemerintah dapat menyebabkan lonjakan harga minyak sawit mentah mengingat pasokan yang lebih ketat daripada yang diperkirakan dan menguntungkan negara-negara penghasil minyak sawit lainnya seperti Indonesia dan Thailand," ujar Ivy seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (18/3/2020).