Bisnis.com, JAKARTA - Emiten batu bara tampaknya tengah ‘mengerem’ pengeluaran dan sedikit mengencangkan ikat pinggangnya demi menjaga kinerja keuangannya pada tahun ini.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, hampir semua emiten batu bara memiliki belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini yang tak seagresif tahun sebelumnya. Bahkan, beberapa emiten itu juga menaruh target produksi cenderung moderat daripada produksi tahun lalu.
Redupnya harga batu bara sepanjang tahun lalu yang berlanjut hingga saat ini disinyalir menjadi alasan utama. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga batu bara telah terkoreksi sebesar 2,97 persen dan sempat menyentuh level terendah sejak Juli 2017 di posisi US$66,15 per ton.
Sementara itu, harga batu bara acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampak bergerak sideways sejak turun pada September 2019.
Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan bahwa di tengah industri batu bara yang masih dipenuhi oleh ketidakpastian, perseroan cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi.
“Karena di tengah kondisi yang sulit seperti sekarang, kami terus berusaha menjaga kas,” ujar Febriati kepada Bisnis belum lama ini.
Baca Juga
Klik gambar untuk informasi detail
Tidak hanya ADRO, PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) juga mematok baik target produksi maupun belanja modal, lebih konservatif daripada tahun lalu.
Direktur Hubungan Investor Indo Tambangraya Megah Yulius Gozali mengatakan bahwa perseroan menargetkan produksi pada tahun ini hanya sekitar 19 juta hingga 20,1 juta ton, lebih rendah daripada realisasi produksi 2019 sebesar 23,4 juta ton karena harga batu bara yang masih fluktuatif.
Sementara itu, di antara emiten lainnya, PT Indika Energy Tbk. (INDY) telah menurunkan alokasi belanja modal paling banyak dibandingkan dengan tahun lalu. Head of Corporate Communication Indika Energy Leonardus Herwindo mengatakan bahwa industri batu bara pada 2020 kemungkinan masih penuh dengan tantangan.
Harga batu bara diperkirakan masih terus mengalami fluktuasi yang dipengaruhi berbagai faktor eksternal, seperti dinamika permintaan-penawaran, perekonomian global, hingga perang dagang AS dan China.
“Meski demikian, kami tetap optimis terhadap prospek dan fundamental industri batu bara ke depannya, termasuk untuk pasar domestik,” jelas Leonardus kepada Bisnis.
Klik gambar untuk informasi detail
Lalu, emiten tambang batu bara mana yang paling memikat?
Analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu mengatakan bahwa emiten batu bara yang tidak lagi menganggarkan capex besar pada tahun ini bukan sebuah kejutan.
“Sudah sesuai ekspektasi karena proyeksi kami industri batu bara pada tahun ini juga lebih flat cenderung melemah dengan proyeksi harga Newcastle berada pada level US$60 per ton,” ujar Dessy saat dihubungi Bisnis, Selasa (3/3/2020).
Dessy merekomendasikan saham ADRO untuk dikoleksi dengan asumsi peningkatan laba bersih dari anak usahanya yang menggarap coking coal untuk mengimbangi penurunan kinerja dari batu bara thermal. Selain itu, saham PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) dengan ekspektasi hilirisasi project pembangkit listrikdan gasifikasi juga membuat emiten itu lebih atraktif.
Kendati demikian, Frankie Wijoyo Prasetio, Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan menyebut meski belanja emiten batu bara tampak tidak agresif, sesungguhnya emiten itu memiliki daya tarik lebih karena mencatatkan pembagian dividen dengan size jumbo.
“Tetapi dengan penurunan harga batubara, tentunya kemungkinan akan diikuti dengan penurunan performa perusahaan, yang nantinya juga akan mempengaruhi dividen yang dibagikan, Jadi masih harus dicermati lagi,” jelas Frankie saat dihubungi Bisnis, Selasa (3/3/2020).
Dia menjagokan saham UNTR karena bisnis perseroan yang terdiversifikasi dengan baik, jadi tidak hanya tergantung dari harga komoditas batu bara.