Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. masih menggodok sejumlah rencana untuk melunasi utang jangka pendek yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Sejumlah opsi yang dipertimbangkan antara lain restrukturisasi, refinancing, hingga penjualan aset.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perseroan masih melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Badan usaha Milik Negara (BUMN).
Dia menambahkan, perseroan akan memprioritaskan pembayaran utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Untuk melunasi utang ini, Garuda juga masih mempertimbangkan sejumlah opsi, termasuk refinancing lewat penerbitan surat utang.
“ Yang penting, anda lihat [pesawat Garuda] masih terbang gak? Kalau terbang berarti persoalan utang sudah diselesaikan dalam ruangan tutup,” jelasnya di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Irfan mengatakan, perseroan untuk sementara membatalkan rencana penerbitan sukuk global atau instrumen keuangan lainnya. Sebelumnya, emiten bersandi saham GIAA itu berniat menerbitkan surat utang maksimum US$900 juta untuk refinancing utang eksisting.
Rencana penerbitan surat utang batal direalisasikan perseroan karena belum ada laporan keuangan limited review atau laporan keuangan audit perseroan sampai dengan tanggal pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 22 Januari 2020.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan per September 2019, Garuda mencatat liabilitas jangka pendek sebesar US$2,87 miliar atau sekitar Rp40 triliun. Jumlah ini terdiri dari pinjaman jangka pendek sebesar US$837,73 juta, utang obligasi sebanyak US$498,44 juta, dan piutang usaha 696,72 juta, dan pos liabilitas lainnya.
Di lain pihak, Komisaris Independen Garuda Indonesia Yenny Wahid mengatakan strategi pembayaran utang belum ditentukan oleh manajemen dan komisaris. Pihaknya masih menunggu Rencana Kerja dan Anggaran (RKAP) dari direksi.
Kendati demikian, dia mengatakan Dewan Komisaris telah memberikan batasan yang jelas tentang penyusunan rencana tersebut. Yenny menuturkan pihaknya mendorong agar manajemen tidak menerbitkan utang baru, namun memaksimalkan potensi aset yang ada.
“Yang penting komisaris itu memberikan guideline, batasan-batasan, kalau mau melakukan, tentu harus melakukan memastikan cashflow-nya, akan terhambat kalau semua untuk bayar utang. Jadi, harus ada sumber pendanaan baru untuk membayar utang, tanpa harus menerbitkan utang baru,” jelasnya.
Dia menuturkan, rencana restrukturisasi utang Garuda juga berkaitan dengan rencana likuidasi sejumlah anak dan cucu perusahaan. Menurutnya, aset yang dimiliki anak dan cucu usaha Garuda saat ini sebagian di antaranya dapat dijual setelah dilikuidasi.
Dia mengatakan penentuan anak usaha yang akan dilikuidasi akan memperhatikan dua poin penting. Pertama, seberapa besar margin laba yang dihasilkan oleh anak usaha tersebut. Jika dinilai tidak memberi manfaat yang cukup, perusahaan seperti ini akan dilikuidasi. Kedua, pertimbangaan mengenai valuasi aset yang dimiliki anak usaha.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio mengatakan perseroan pinjaman jangka pendek sebesar US$837 juta dan utang obligasi sebesar US$498 juta. Dengan posisi kas Garuda Indonesia saat ini, restrukturisasi utang menjadi salah satu opsi.
“Dengan total pinjaman jangka pendek dan utang obligasi senilai US$1,33 miliar, dan kas GIAA yang sebesar US$345 juta, ya memang perlu restrukturisasi. Secara umum ya penurunan bunga dan perpanjangan tenor,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (27/2/2020).