Bisnis.com, JAKARTA – Harga saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. cenderung mengalami pelemahan seiring dengan utang jangka pendek sebesar US$500 juta yang harus dilunasi perseroan.
Pada perdagangan Kamis (27/2/2020) pukul 9:14 WIB, saham GIAA naik 4 poin atau 1,41 persen ke level Rp288. Namun, sepanjang tahun berjalan harga merosot 42,17 persen dari akhir Desember 2019 di posisi Rp498.
Kemarin, Rabu (26/2/2020) saham GIAA anjlok 5,96 persen atau 18 poin menuju Rp284. Ini menjadi level terendah 13 bulan atau sejak 27 Desember 2018 di posisi Rp268.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan beberapa skema pengembangan bisnis dan penyelamatan sejumlah perusahaan pelat merah, termasuk di dalamnya pembenahan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Menurut Erick, pemerintah tengah menggodok aksi untuk mengembangkan Garuda. Salah satunya adalah rencana restrukturisasi utang.
Pembenahan tersebut juga akan diikuti dengan rencana perampingan struktur anak dan cucu perusahaan dan membuat kembali model bisnis yang sehat untuk perusahaan itu.
Baca Juga
“Kita lakukan segala efisiensi ini, dan memastikan remodeling bisnis yang sehat buat Garuda. Saat ini, Garuda dalam tekenan yang luar biasa karena utangnya jatuh tempo. Tapi kami pastikan kami akan restrukturisasi, akan ada jalan keluar supaya sehat,” jelasnya, Rabu (26/2/2020).
Maskapai penerbangan pelat merah tersebut sedang dikejar oleh utang jangka pendek dengan total US$500 juta atau sekitar Rp7 triliun jika mengacu dengan kurs Rp14.000.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan bahwa kendati lebih banyak berkecimpung di dunia teknologi informasi, struktur keuangan perseroan menjadi salah fokus utama yang akan dibenahinya.
“Utang itu salah satu concern kami, tadi siang kami sempat bicara soal ini, akan melakukan upaya-upaya, melakukan negosiasi dan mencari utang baru,” katanya di Kementerian BUMN, Jumat (24/1/2020).
Pada awalnya, perseroan berencana menerbitkan menerbitkan sukuk global atau instrumen keuangan lainnya dengan jumlah maksimum sebesar US$900 juta yang bertujuan untuk pelaksanaan refinancing utang perseroan.
Namun, rencana tersebut batal direalisasikan perseroan karena belum tersedianya laporan keuangan limited review atau laporan keuangan audit perseroan sampai dengan tanggal pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 22 Januari 2019.
“Kami akan terus cari alternatif pendanaan,” ungkapnya.