Bisnis.com, JAKARTA - PT FAC Sekuritas Indonesia menjagokan saham PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. di antara jajaran emiten konstruksi, terutama perusahaan konstruksi milik negara.
Head of Research FAC Sekuritas Indonesia Wisnu Prambudi mengatakan WIKA berpotensi meraup laba bersih yang besar dibandingkan dengan emiten plat merah lainnya. Hal ini didorong antara lain beban utang yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan emiten karya lainnya.
Wisnu menyebut, rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) tercatat 2,8 kali, lebih rendah misalnya dibandingakn dengan PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang mencapai 5,96 kali per September 2019.
“Saya pilih WIKA karena DER rendah sekitar 2,8 kali, sedangkan PT Waskita Karya Tbk. lebih tinggi mencapai 5 kali dibandingkan dengan ekuitas. Secara bisnis memang butuh modal tinggi karena membangun infrastruktur,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (17/2/2020).
Wisnu menargetkan WIKA bisa menyentuh level Rp2.100 per saham. Adapun pada hari ini emiten plat merah itu ditutup menguat 2,83 persen ke level Rp2.000 per saham. Industri konstruksi, lanjut Wisnu bisa menuai sentiment positif tahun ini.
Dia beralasan, peemerintah masih menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas alam lima tahun ke depan.
Wahyu mengatakan sentiment negative yang bisa menekan kinerja hanyalah harga baja impor yang bisa melambung akibat pelemahan ekonomi di China. Namun, hal itu masih bisa dikompensasi dengan baja dari domestik.
“Saat ini kebanyakan emiten infrastruktur sedang menunggu pembayaran. Kuartal I/2020 kemungkinan fokus mereka pun masih pembangunan jalan tol,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Wijaya Karya Tumiyana mengatakan laba bersih perseroan naik 16,29 persen menjadi Rp2,51 triliun pada 2019. Adapun pada tahun sebelumnya, WIKA mampu memperoleh laba bersih sebesar Rp2,07 triliun.
Meski begitu, kondisi penjualan WIKA turun menjadi Rp27,77 triliun atau terkoreksi 10,87 persen pada 2019. Padahal, pendapatan WIKA mencapai angka Rp31,16 triliun pada periode 2018. Sementara itu, perolehan kontrak baru dan kontrak yang dihadapi pada tahun 2019 juga turun masing-masing Rp41,18 triliun dan Rp117,69 triliun