Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah masih banyaknya ketidakpastian pasar, analis menilai investor harus mulai mendiversifikasi aset kepemilikan obligasi jangka panjangnya dengan emas untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih maksimal.
Analis Goldman Sachs Sabine Schels dalam risetnya mengatakan bahwa sesungguhnya emas memang tidak dapat sepenuhnya menggantikan posisi obligasi pemerintah dalam portfolio, tetapi realokasi sebagian eksposur obligasi normal untuk emas saat ini cukup seimbang.
“Kami masih melihat kenaikan pada harga emas seiring dengan kekhawatiran siklus akhir dan ketidakpastian politik yang meningkat sehingga mendukung permintaan terhadap aset investasi aman,” ujar Sabine seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (9/12/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (9/12/2019) hingga pukul 12.12 WIB, harga emas di pasar spot bergerak stabil di level US$1.460,29 per troy ounce. Sementara itu, harga emas berjangka untuk kontrak Februari 2020 di bursa Comex bergerak melemah tipis 0,03% menjadi US$1.464,6 per troy ounce.
Kendati ruang koreksi emas hingga akhir tahun masih terbuka cukup lebar seiring dengan perkembangan negosiasi AS dan China yang cenderung positif, Sabine menilai emas masih mampu untuk berbalik menguat dan diproyeksi dapat menyentuh level US$1.600 per troy ounce pada tahun depan.
Adapun, logam mulia itu berhasil naik ke level tertinggi dalam 6 tahun pada September 2019 karena Federal Reserve memangkas suku bunga acuannya sehingga meningkatkan daya tarik emas yang tidak mengandung bunga. Emas berhasil bertahan untuk bergerak di atas level US$1.500 per troy ounce untuk waktu yang cukup lama dan sempat menyentuh level US$1.5.71 per troy ounce.
Baca Juga
Selain itu, sepanjang tahun berjalan 2019, emas telah bergerak menguat 13,88% dan menuju penguatan tahunan terbesar dalam perdagangan 10 tahun terakhir.