Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham IPO Lebih Cocok untuk Short-Trading, Benarkah?

Dari data yang dihimpun Bisnis, per akhir pekan lalu saham PT Gaya Abadi Sempurna Tbk. dengan kode SLIS meroket hampir 4.000%.
Karyawati mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Dealing Room Bank Permata, Jakarta, Rabu (4/4/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Karyawati mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Dealing Room Bank Permata, Jakarta, Rabu (4/4/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA — Saham-saham pendatang baru di Bursa Efek Indonesia disebut lebih cocok untuk short-trading ketimbang investasi.

Pasalnya, ruang gerak saham yang baru IPO (Initial Public Offering) ini sangat luas yang tercermin oleh naik-turunnya harga yang fantastis.

Dari data yang dihimpun Bisnis, per akhir pekan lalu saham PT Gaya Abadi Sempurna Tbk. dengan kode SLIS meroket hampir 4.000%.

Sejak dicatatkan pada bulan lalu, SLIS pun telah terkena suspensi dari BEI sebanyak 3 kali seiring dengan terjadinya peningkatan harga kumulatif yang signifikan.

Tak hanya SLIS, beberapa saham IPO yang sempat disuspensi oleh bursa a.l. CLAY, KJEN, POLU, HRME, dan ENVY.

Di sisi lain, ada pula saham yang tak seberuntung itu. Misalnya saham PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (POSA) justru terpuruk -65,33% sejak diperdagangkan pada Mei silan.

Tak Mencerminkan Fundamental

Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai kinerja saham-saham yang baru tercatat belum bisa dikatakan murni mencerminkan performa fundamentalnya.

“Siklusnya saham-saham IPO itu umumnya seperti itu. Ada saham yang kenaikannya di luar kebiasaan, apalagi kalau emitennya bisa meyakinkan investor terhadap prospek ke depannya,” jelas Reza kepada Bisnis, Senin (25/11/2019).

Berkaca kepada SLIS, lanjut Reza, produsen kendaraan listrik ini menargetkan penjualan pada 2019 bisa mencapai Rp408 miliar atau naik sekitar 38,5% yoy dari posisi Rp294,68 miliar. Hal ini pun membuat investor menjadi terlalu optimistis dengan ekspektasi kinerja meningkat tajam.

Saham IPO Lebih Cocok untuk Short-Trading, Benarkah?

Namun demikian, perlu pula dilihat realitas yang ada di depan misalnya munculnya kompetitor terhadap bisnis perseroan.

Oleh karena fundamental dari emiten anyar bisa dikatakan belum terlalu dilirik pelaku pasar, Reza pun merekomendasikan saham-saham ini untuk short-trading.

Sementara untuk investasi, saham-saham yang telah memperlihatkan pola pergerakan kinerja keuangan maupun kinerja saham lebih direkomendasikan.

“Saya sih lebih rekomendasi untuk short—trading, apalagi waktu pre-IPO terjadi oversubscribe. Kalau oversubscribe-nya tinggi bahkan sampai dobel digit, itu berarti banyak investor yang masuk. Dari situ sudah bisa ada gambaran nanti saat listing saham ini akan naik signifikan atau tidak,” ujar Reza.

Dua-Tiga Bulan Setelah IPO

Adapun mengenai kinerja fundamental, Reza melihat investor akan mulai mempertimbangkannya setelah selang 2—3 bulan setelah IPO.

Dari beberapa saham yang baru tercatat pada 2019, Reza merekomendasikan NZIA yang masuk dalam sektor properti bersubsidi, emiten rokok ITIC, emiten properti NATO, CLAY, dan emiten penyewaan rigs WOWS untuk dicermati.

Dengan demikian, Reza pun menilai saham-saham IPO berisiko untuk dimasukkan ke dalam portofolio reksa dana yang memiliki horison investasi jangka panjang.

Pasalnya, saham-saham yang baru saja IPO belum bisa diukur ketahanannya.

Pskologi Investor Terpengaruh

Kasus yang menerpa sejumlah manajer investasi belakangan ini, lanjut Reza, berpotensi akan mempengaruhi psikologis investor. Dikhawatirkan, investor reksa dana akan banyak melakukan redemption karena khawatir produk investasinya bermasalah.

Apabila terjadi terus-menerus, saham-saham blue chip pun akhirnya akan ikut tertekan. Pasalnya, manajer investasi akan melakukan rebalancing portofolio untuk mencari likuiditas untuk investor yang melakukan redemption.

Head of Research Reliance Sekuritas Lanjar Nafi memaparkan bahwa kenaikan sektor industri dasar dan pertanian masing-masing sebesar 1,11% dan 0,75% tak bisa menahan pelemahan IHSG pada akhir perdagangan Senin (25/11/2019). IHSG ditutup di zona merah dengan penurunan 0,48% ke level 6.070.

“Pelemahan IHSG dibayangi maraknya kasus gagal bayar institusi yang sedikit menganggu kepercayaan investor. Terlihat aksi jual saham-saham blue chip setelah salah satu fund manager dinyatakan bermasalah dan ditutup izin jual reksa dananya,” kata Lanjar.

Produk Minna Padi Dibubarkan

Pekan lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membubarkan 6 produk reksa dana kelolaan PT Minna Padi Aset Manajemen. Selain itu, otoritas juga memberikan suspensi untuk sejumlah reksa dana yang pergerakan Nilai Aktiva Bersih (NAV) turun berlebihan.

Adapun penurunan NAV reksa dana itu disinyalir akibat banyaknya saham-saham IPO yang masih volatil yang menjadi underlying asset-nya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper