Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah telah menjamin harga inudstri tidak akan naik sampai dengan akhir tahun. Menyusul keputusan tersebut, kinerja saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. di lantai Bursa terus terperosok.
Saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. tercatat kembali mengalami koreksi setelah pada perdagangan sebelumnya juga tercatat mengalami koreksi yang dalam.
Bloomberg mencatat pada perdagangan Jumat (1/11/2019), saham PGAS terperosok ke zona merah dengan pelemahan sebesar 12,32% atau 260 poin menuju level Rp1.850 per saham
Saham PGAS terus bergerak melemah sejak pembukaan perdagangan hari ini dengan pergerakan di rentang Rp1.820—Rp2.120 per saham sampai akhirnya terkoreksi cukup dalam pada penutupan perdagangan.
Alhasil, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan berakhir melemah pada perdagangan hari ini yang merupakan pelemahan hari kedua berturut-turut, dengan saham PGAS yang tercatat sebagai penekan utamanya.
Dilansir dari Bloomberg, saham PGAS ambrol setelah Presiden Joko Widodo menyerukan tinjauan untuk harga gas lokal pada Jumat (1/11).
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk mencari akar penyebab tingginya harga gas dan menghitung komponen harga gas bagi kebutuhan industri.
Pada perdagangan Kamis (31/10/2019), harga saham PGAS juga terperosok ke zona merah sebesar 13,52% sekaligus turut menjadi penekan utama pelemahan IHSG.
Kepala Riset Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan memastikan terperosoknya saham PGAS di lantai Bursa disebabkan oleh keputusan pembatalan kenaikan harga gas industri.
Menurutnya, selama 5 tahun ke belakang tidak ada kenaikkan harga gas. Sementara dalam PGAS terdapat beban-beban yang setiap tahunnya terus membengkak.
“Kalau ini dibiarkan terus, maka sekarang ini margin PGAS hanya 4,6%. Sementara dalam 5 tahun terakhir PGAS terus dipaksa ekspansi dengan menggunakan utang. Jadi dengan margin yang semakin tipis investor menjadi semakin khawatir,” katanya kepada Bisnis baru-baru ini.
Dia menambahkan bahwa intervensi pemerintah dalam penetapan harga gas dinilai mengenyampingkan kehadiran pemegang saham publik sebesar 43,03% di dalam PGAS.
Lebih lanjut, Alfred mengatakan bahwa dengan intervensi tersebut membuat mekanisme untuk memprediksi harga jual gas menjadi tidak jelas, sehingga membuat investor menjadi ragu-ragu.
“Kalau begini sudah kacau, lebih baik dijadiikan perusahaan private saja,” ungkapnya.
Senior Vice President Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial mengatakan pergerakan saham PGAS pada Kamis merupakan respons pasar atas polemik harga gas industri setelah Kementerian ESDM menutup peluang rencana PGAS untuk menaikkan harga per 1 November 2019.
Menurut Janson keputusan tersebut membuat saham PGAS mengalami volatilitas. Pasalnya, intervensi pemerintah membuat ketidakpastian di kalangan investor.
“Jadi kebijakan sewaktu-waktu bisa berubah dan cenderung diintervensi, karena kan revenue dari PGAS tergantung volume dan harga,” terang Janson kepada Bisnis.
Kondisi tersebut membuat investor ragu untuk berinvestasi di saham PGAS. Alasannya, kata Janson, investor sulit untuk memprediksi kinerja perseroan ke depannya. Terlebih keputusan-keputusan yang berkaitan dengan harga jual gas sangat berpengaruh untuk perusahaan.