Bisnis.com, JAKARTA - Setelah sempat terkapar di zona merah cukup lama, harga nikel kembali berpendar seiring dengan rencana Tsingshan Holding Group Co. membeli lebih banyak nikel olahan sebelum larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia berlaku pada awal 2020.
Tsingshan adalah salah satu produsen stainless steel, yang bahan baku utamanya adalah nikel, terbesar dunia. Mengutip Bloomberg, Selasa (29/10/2019), perusahaan asal China tersebut mengaku tengah mempersiapkan pasokan nikel menjelang kebijakan tersebut diterapkan pada awal tahun depan.
Langkah ini menambah beban karena pasokan nikel sudah lebih dulu berada dalam tekanan.
Adapun stok persediaan nikel di LME telah jatuh ke level terendah dalam lebih dari 12 tahun. Pada perdagangan Senin (28/10), stok nikel di gudang yang dilacak oleh LME berada di level 70.650 ton, turun 7,96 persen.
Tsingshan pun disebut sebagai dalang dari rekor penurunan persediaan nikel di LME tersebut.
Menurut sumber Bloomberg yang tidak disebutkan namanya, Tsingshan bekerja sama dengan bank-bank pembiayaan termasuk JPMorgan Chase & Co. untuk melepas logam dari bursa dan diperkirakan telah membeli nikel sebanyak 30.000-80.000 ton.
Baca Juga
Kendati demikian, dalam keterangan resminya, Tsingshan menolak memberikan perincian lebih lanjut tentang prospek nikelnya atau skala pengadaan nikel dari LME.
Pada saat yang sama, impor bijih nikel China periode September 2019, melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari 5 tahun. Berdasarkan data bea cukai China, pasokan bijih nikel periode September 2019, melonjak menjadi 7,1 juta ton, tertinggi sejak Januari 2014.
Indonesia menyumbang 2,5 juta ton pasokan nikel China pada bulan lalu, naik lebih dari 50 persen dari Agustus 2019, dan tertinggi sejak awal 2014. Selain itu, volume impor dari Filipina mencapai 4,4 juta ton, naik sekitar 11 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Pada perdagangan Selasa (29/10) hingga pukul 15.36 WIB, harga nikel di bursa LME menguat 0,86 persen menjadi US$16.702,5 per ton. Sepanjang tahun berjalan 2019, nikel telah naik 55,6 persen dan menyentuh level tertinggi US$18.850 per ton, level tertinggi sejak September 2014.
Sementara itu, Ekonom Oversea-Chinese Banking Group Ltd Howie Lee menilai kenaikan harga didorong oleh spekulasi terkait ketatnya pasokan, yang akan terbukti hanya bakal bertahan sementara.
Sentimen pasokan dan persediaan yang terbatas sudah direspons oleh pasar, sehingga sentimen saat ini tidak akan membuat perbedaan harga yang signifikan.