Bisnis.com, JAKARTA — Pasar sukuk di Tanah Air membutuhkan gebrakan baru guna mengejar kinerja instrumen surat utang konvensional, diantaranya dengan penerbitan seri acuan.
Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Wahyu Trenggono mengakui butuh waktu untuk mengembangkan sukuk. Namun, dia berharap pemerintah bisa memacu pasar sukuk melalui penerbitan seri acuan. Terbitnya seri acuan sukuk diharapkan bisa mendorong likuiditas pasar sukuk.
Adapun, dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per pekan pertama Oktober 2019, pertumbuhan outstanding sukuk secara tahun berjalan menyentuh 17,47% yakni dari Rp392,98 triliun menjadi Rp461,66 triliun.
Pertumbuhan tersebut lebih besar dari pertumbuhan outstanding surat utang negara (SUN) yakni 11,6% yakni dari Rp1.975,47 triliun menjadi Rp2.205,49 triliun. Kendati demikian, dari sisi nominal, sukuk baru berkontribusi sebesar 17,3% dari total outstanding sebesar Rp2.667,15 triliun.
“Kami harapkan inisiatif pemerintah menerbitkan benchmark series membantu kondisi pasar. Memang dibutuhkan breakthrough untuk mengembangkan pasar sukuk,” ujarnya, belum lama ini.
Di sisi lain, menurutnya, sukuk korporasi lebih menarik meskipun secara volume lebih rendah. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), secara tahun berjalan per pekan pertama Oktober 2019, penerbitan sukuk korporasi tumbuh 22,5% yakni dari Rp10,26 triliun menjadi Rp12,57 triliun.
Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang justru turun 26,7% dari Rp6,5 triliun menjadi Rp4,76 triliun. Padahal, dari sisi kontribusi terhadap penerbitan obligasi korporasi, pada pekan pertama Oktober, emisi sukuk sebesar 13,5% dari total Rp92,96 triliun.
Menurutnya, pada instrumen sukuk korporasi imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi. Dengan demikian, hal itu memacu minat investor lokal untuk mengoleksi sukuk hingga jatuh tempo. “Sukuk korporasi lebih likuid imbal hasil yang diberikan lebih tinggi.”
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan pertumbuhan di pasar sukuk cenderung terbatas karena dipengaruhi oleh industri penunjang yang menjadi investor. Sebagai contoh, dia menyebut investor seperti reksa dana, perbankan, dan dana pensiun menjadi penggerak utama pengembangan pasar sukuk.
Alhasil, diperlukan stimulus untuk menghidupkan permintaan dari investor ritel sehingga volume kepemilikan sukuk bisa terkerek naik. Dia pun mendukung pemerintah untuk turut menawarkan instrumen sukuk untuk investor ritel.
Pasalnya, selama ini penambahan jumlah sukuk beredar di pasar lebih karena penambahan utang pemerintah secara total sehingga outstanding-nya naik.
Menurutnya, pasar sukuk seharusnya bisa tergarap secara optimal karena jumlah investor muslim tinggi di Tanah Air.
“Pertumbuhannya memang terbatas karena sangat bergantung pada permintaan di ritelnya. Reksa dana syariah, bank, dan dana pensiun yang memiliki fleksibilitas investasi ke sukuk juga instrumen sukuk ritel dan sukuk tabungan diharapkan bisa meningkatkan pasar sukuk,” katanya.