Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah India tengah mengambil ancang-ancang untuk memaksimalkan produksi batu bara dalam negeri mereka.
Seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (26/9/2019), Menteri Uni untuk Batu Bara, Pertambangan, dan Urusan Parlemen Pralhad Joshi mengatakan, Pemerintah India sedang menyiapkan langkah-langkah untuk meningkatkan produksi batu bara India dari level saat ini 730 juta ton menjadi 1,14 miliar ton pada 2023. Dampak dari kebijakan tersebut, impor batu bara India bakal berkurang.
Joshi mengatakan, meski terdapat dorongan untuk energi terbarukan, India tetap membutuhkan kapasitas besar pembangkit listrik tenaga batu bara. Saat ini, batu bara menempati porsi 55% dalam pasokan energi primer dan sekitar 75% untuk pembangkit listrik.
Dia menambahkan, pemerintah membuka tambang baru, memperluas kapasitas tambang, dan menciptakan infrastruktur evakuasi baru untuk meningkatkan produksi batu bara domestik.
Lebih lanjut, Joshi mengatakan, pemerintah telah mengambil sejumlah inisiatif untuk hal ini. Antara lain, pelonggaran persetujuan rencana tambang, menghapuskan sistem persetujuan sebelumnya dari pemerintah pusat untuk pemberian sewa pertambangan, merampingkan pemberian izin, pemberian sewa, dan pembuatan infrastruktur evakuasi batu bara.
Joshi optimistis langkah-langkah tersebut dapat meningkatkan ketersediaan batu bara dalam negari pada tahun-tahun mendatang.
Baca Juga
India merupakan konsumen batu bara terbesar kedua di dunia, setelah China. Berdasarkan data BP Statistical Review of Energy 2019, konsumi bahan bakar fosil di negara Asia Selatan itu mencapai 452 juta ton pada 2018. Capaian tersebut menempatkan India pada posisi kedua konsumen batu bara dunia, usai China dengan konsumsi sebanyak 1,90 miliar ton.
Prospek Asia Tenggara
Dalam perkembangan lain, Wood Mackenzie melaporkan, batu bara akan terus menjadi sumber bahan bakar dominan dalam pembangkit listrik. Puncak konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi terjadi pada 2027, setelah itu konsumsinya akan melambat.
Pada saat itu, total permintaan daya di Asia Tenggara diperkirakan akan berlipat ganda dari 1,05 petawatt per jam (PWh) pada 2018 menjadi 2,46 PWh.
Untuk memenuhi permintaan daya yang meningkat pesat, Asia Tenggara harus menginvestasikan rata-rata US$17 miliar per tahun dalam kapasitas daya.
Batu bara bakal mengambil sebagian besar investasi ini dalam jangka menengah, sebelum diambil alih oleh pengeluaran untuk pembangkit berbahan bakar gas.
Pada 2034, investasi dalam pembangkit listrik tenaga surya dan angin bakal melampaui investasi pembangkit listrik tenaga gas.
Jacqueline Tao, Research Associate Wood Mackenzie, mengatakan narasi seputar batu bara telah menjadi pesimistis di seluruh dunia. Hal ini akan menghasilkan perlambatan bertahap kapasitas batu bara baru di Asia Tenggara.
“Namun, kenyataan meningkatnya permintaan listrik dan masalah keterjangkauan di wilayah ini berarti bahwa kami hanya akan mulai melihat penurunan daya batu bara setelah 2030,” katanya.
Batu bara tambahan akan menurun sejalan dengan menurunnya biaya energi terbarukan dan tekanan terhadap lingkungan. Pada 2040, pembangkit listrik tenaga surya dan angin diproyeksi memimpin dalam campuran kapasitas daya di wilayah ini sebesar 35% atau 205 gigawatt (GW).