Bisnis.com, JAKARTA—Meningkatnya risiko di pasar saham menekan nilai transaksi broker sepanjang bulan lalu. Outlook ke depannya pun dinilai masih mendung dibayangi tekanan eksternal.
Berdasarkan data Bloomberg, total transaksi perdagangan efek atau gross value pada Agustus 2019 tercatat sebesar Rp368,80 triliun.
Angka tersebut tak banyak berubah dibandingkan dengan total transaksi pada bulan yang sama tahun lalu senilai Rp368,42 triliun.
Adapun jika dibandingkan dengan Juli 2019 yang senilai Rp389,42 triliun, transaksi pada bulan lalu menyusut 5,29%.
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali, menjelaskan bahwa saat ini kondisi di pasar keuangan masih berisiko, terutama dari negatifnya sentimen eksternal. Hal itu pun membuat instrumen investasi saham menjadi lebih volatil.
Adapun perang dagang antara AS—China yang terus berlanjut diperkirakan bisa menekan pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan kembali merevisi turun target pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2% pada tahun ini dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,3%.
Baca Juga
Untuk menjaga supaya perekonomian tetap ekspansif, bank sentral di dunia pun berlomba-lomba menurunkan suku bunga, termasuk Bank Indonesia yang telah memangkas suku bunga 7-Day Reserve Repo Rate sebanyak dua kali sebesar 50 bps sejak awal tahun.
Pemangkasan suku bunga tersebut langsung disambut positif oleh pasar obligasi yang mana yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 2,45% ke level 7,33%.
“Dengan adanya risiko yang meningkat tersebut, investor secara umum lebih memilih untuk investasi di dalam fix income atau pun emas yang dianggap sebagai perangkat untuk hedging,” kata Frederik kepada Bisnis, Senin (2/9/2019).
Sementara itu, pemangkasan suku bunga yang dilakukan BI selama dua bulan berturut-turut belum banyak berpengaruh di pasar saham sepanjang bulan lalu.
Frederik menambahkan, memang transaksi perantara perdagangan efek tak selalu hanya diukur dari pergerakan suku bunga.
Beberapa penyebab yang dapat mempengaruhi nilai transaksi broker bisa juga berasal dari rata-rata PER suatu negara maupun selera investor terhadap instrumen pendapatan tetap.
Ke depannya, Frederik menilai transaksi broker di Tanah Air masih sulit bergairah karena ketidakpastian masih bertebaran.
Dirinya pesimistis kelanjutan perundingan dagang antara AS dan China pada bulan ini akan menemukan hasil yang baik.
“Sejak tahun lalu selalu bicara akan damai tapi belum pernah ada kesepakatan, atau pun ada tapi tidak bertahan lama,” tutur Frederik.
Di sisi lain, perkembangan Brexit di Eropa juga dikhawatirkan belum akan mencapai titik cerah. Adapun, dalam perkembangan terakhir, PM Inggris Borin Johnson dipercaya memiliki jalan keluar dari drama Brexit tapi ternyata tampaknya masih belum mantap.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menambahkan, selain tensi dagang, pada bulan lalu juga muncul kekhawatiran inversi kurva yield surat utang AS yang terlihat pada spread yield Treasury AS bertenor 10 tahun dengan yield US Treasury bertenor 2 tahun menjauh 5 bps yakni 1,476% dan 1,526% yang merupakan posisi terendah sejak 2007.
“Sejarah mencatat awal resesi AS selalu ditandai dengan terjadinya kurva terbalik,” jelas Hans.
Sementara dari dalam negeri, data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 3,49% secara yoy pada Agustus dinilai masih dapat memberi ruang kepada BI untuk menurunkan suku bunga menjelang akhir tahun.
Adapun, pelaku pasar di Negeri Paman Sam juga berharap The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan ini.