Bisnis.com, JAKARTA - Bijih besi masih bertahan di level tertingginya dalam 5 tahun terakhir pada perdagangan Senin (1/7/2019) dibayangi ekspektasi defisit pasokan secara global dan perkiraan oleh Australia bahwa pasar yang ketat akan bertahan cukup lama.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (1/7/2019) hingga pukul 18.12 WIB, harga bijih besi di bursa Singapura berhasil naik 5,83% menjadi US$119,45 per ton. Sementara itu, harga bijih besi di bursa Dalian menguat 2,64% menjadi 855,5 yuan per ton.
Analis Marex Spectron Group Hui Heng Tan mengatakan bahwa pihaknya masih melihat pergerakan yang bullish pada bijih besi untuk jangka pendek.
"Meski demikian, akan terdapat lebih banyak pengiriman kargo ke China dalam waktu dekat, pelemahan tingkat produksi baja dapat menghasilkan ketersediaan pasokan spot yang lebih besar untuk beijih besi," ujar Hui Heng Tan seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (1/7/2019).
Adapun, sepanjang paruh pertama tahun ini harga bijih besi telah naik lebih dari 60% setelah bencana di bendungan Vale SA Brazil dan cuaca buruk di Australia mendorong perkiraan adanya defisit pasokan global.
Kemudian, bahan pembuatan baja tersebut juga melanjutkan reli penguatan yang cukup tajam sepanjang bulan lalu setelah salah satu produsen terbesar Rio Tinto menurunkan target produksi dan pada hari yang sama, Vale juga mengatakan bahwa salah satu tambangnya akan kembali beroperasi.
Kendati demikian, di saat arus gangguan pasokan tengah mengguncang pasar, pemerintah Australia memperkirakan bahwa ekspor Negeri Kangguru tersebut turun untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade.
Pemerintah Australia sebagai negara pengirim bijih besi terbesar di dunia telah memotong perkiraan pengiriman 2019 menjadi 814 juta ton dan mengatakan bahwa harga bijih besi akan naik hampir 20%.
Adapun, pada tahun lalu, ekspor bijh besi Australia mencapai 835 juta ton.